Dalam beberapa tahun terakhir, istilah self healing dan overthinking menjadi semakin sering terdengar, khususnya di kalangan generasi muda. Dua istilah ini bahkan seolah menjadi bagian dari gaya hidup modern yang banyak dibicarakan di media sosial, podcast, hingga dijadikan tema berbagai konten populer. Self healing dianggap sebagai metode penyembuhan luka batin yang dilakukan secara mandiri, sementara overthinking kerap disebut sebagai penyebab utama stres, kecemasan, hingga gangguan kesehatan mental. Namun, semakin sering dua istilah ini dipakai, muncul pertanyaan yang mengusik, apakah ini benar-benar solusi untuk kondisi psikologis yang kompleks, atau justru sekadar tren yang viral dan kehilangan makna aslinya?
Self healing secara harfiah berarti penyembuhan diri sendiri. Dalam konteks psikologis, self healing mengacu pada upaya individu untuk memulihkan keseimbangan emosi dan mentalnya melalui berbagai cara. Beberapa orang melakukannya dengan meditasi, menulis jurnal, berjalan di alam, berbicara dengan diri sendiri secara positif, atau bahkan sekadar istirahat dari kesibukan. Konsep ini menarik karena memberikan ruang bagi setiap orang untuk memahami dan merawat diri sendiri, terutama di tengah tekanan hidup yang kian besar.
Sementara itu, overthinking adalah kebiasaan berpikir secara berlebihan, terutama terhadap hal-hal yang belum tentu terjadi atau tidak berada dalam kendali. Seseorang yang overthinking sering kali memutar ulang skenario di kepala mereka, memikirkan kemungkinan terburuk, dan merasa cemas tanpa henti. Fenomena ini bukan hal baru, namun semakin mencuat di era digital saat ini ketika informasi datang begitu cepat, ekspektasi sosial makin tinggi, dan ruang untuk tenang terasa semakin sempit.
Di satu sisi, self healing memang bisa menjadi solusi. Banyak orang merasa terbantu dengan mengambil waktu untuk menenangkan diri, merefleksi pengalaman, dan mengisi ulang energi emosional mereka. Dalam dunia yang serba cepat dan penuh tekanan, self healing bisa menjadi bentuk perlawanan yang damai, sebuah cara untuk kembali ke dalam diri sendiri dan mengenali luka yang mungkin selama ini diabaikan. Namun di sisi lain, tidak sedikit orang yang menggunakan self healing sebagai alasan untuk menghindari tanggung jawab atau lari dari masalah. Misalnya, seseorang mengalami konflik dengan temannya, tetapi memilih pergi ke pantai sambil berkata, "Aku butuh healing," tanpa pernah menyelesaikan masalah yang ada. Dalam kasus seperti ini, self healing berubah menjadi pelarian, bukan pemulihan.
Budaya overthinking juga mengalami pergeseran makna. Banyak orang mulai mengidentifikasi diri mereka sebagai "overthinker" dan menjadikannya bagian dari identitas. Bahkan, ada semacam kebanggaan terselubung ketika seseorang menyebut dirinya terlalu banyak berpikir, seolah itu menandakan bahwa ia adalah pribadi yang peka dan mendalam. Padahal, overthinking yang berlebihan justru bisa menjadi akar dari berbagai gangguan mental, seperti anxiety, insomnia, hingga depresi. Masalahnya, ketika overthinking dirayakan atau dianggap normal, orang jadi enggan mencari bantuan atau keluar dari pola pikir tersebut.
Peran media sosial dalam fenomena ini sangat besar. Kita hidup di era di mana emosi dan pengalaman pribadi bisa dikemas secara visual lalu dibagikan kepada dunia. Self healing, misalnya, sering digambarkan sebagai momen estetik: seseorang duduk di kafe sendirian sambil membaca buku, menikmati kopi di atas gunung, atau berjalan di tepi pantai dengan caption yang puitis. Meskipun tidak salah, gambaran seperti ini bisa menciptakan persepsi bahwa healing harus selalu indah, tenang, dan mahal. Padahal, proses penyembuhan yang sesungguhnya tidak selalu tampak cantik. Kadang, ia justru penuh air mata, kegelisahan, dan perjuangan menghadapi kenyataan pahit.
Hal serupa juga terjadi pada overthinking. Banyak kutipan, lagu, dan konten yang memromantisasi kebiasaan berpikir berlebihan. Kalimat seperti "Aku terlalu banyak berpikir sampai tidak bisa tidur," sering terdengar seperti puisi modern daripada seruan minta tolong. Akibatnya, orang-orang merasa wajar terjebak dalam overthinking dan tidak merasa perlu untuk keluar dari pola itu. Alih-alih menjadi lebih sadar, mereka terjebak dalam lingkaran yang sama hanya karena merasa itu adalah bagian dari diri mereka.
Pada akhirnya, baik self healing maupun overthinking bisa menjadi dua sisi dari koin yang sama: meningkatnya kesadaran akan pentingnya kesehatan mental. Namun, jika tidak disikapi dengan bijak, keduanya bisa menjelma menjadi jebakan. Kita bisa terjebak dalam pemikiran bahwa healing cukup dilakukan dengan liburan dan kopi, atau merasa cukup hanya dengan menyadari bahwa kita overthinking tanpa ada usaha konkret untuk berubah.
Pertanyaannya, apakah kita melakukan self healing karena memang benar-benar ingin sembuh, atau hanya mengikuti tren agar tidak merasa tertinggal? Apakah kita menyadari bahwa overthinking merusak ketenangan, atau justru menikmatinya sebagai label diri? Kesehatan mental adalah perjalanan panjang yang butuh keberanian, ketekunan, dan kejujuran pada diri sendiri. Self healing bisa menjadi jalan yang bermakna jika disertai kesadaran dan niat yang tulus. Mengakui bahwa kita overthinking juga bisa menjadi titik awal perubahan, asalkan tidak berhenti pada pengakuan semata.
Kita boleh mengikuti tren, tetapi jangan sampai kehilangan esensi. Jangan sampai kata "healing" hanya jadi alasan untuk kabur, dan "overthinking" jadi tameng untuk tidak berubah. Kita butuh lebih dari sekadar kata-kata indah dan caption estetik, kita butuh keberanian untuk benar-benar menyembuhkan diri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI