Lihat ke Halaman Asli

Damar Kambang: Bicara Tentang Tradisi, Nasib Perempuan, dan Pernikahan Dini

Diperbarui: 20 Juni 2025   10:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Identitas Buku Damar Kambang (Sumber: Yasinta Kumalasari)

Damar Kambang (2020) adalah buku kedua Muna Masyari yang saya baca. Buku ini mencerminkan kehidupan sosial dan konflik batin para tokohnya sehubungan dengan tradisi yang mereka ikuti. Seperti buku sebelumnya yang saya baca, Rokat Tase’ (2020), buku ini kental akan unsur tradisi dan budaya orang Madura. Buku ini mengenalkan saya pada keberagaman tradisi dan budaya di Indonesia. Setidaknya, dua tradisi yang saya ketahui menjadi bagian dari buku ini adalah: damar kambang dan mokka’ blabar. 

Damar Kambang dan Mokka’ Blabar

Damar Kambang karya Muna Masyari berkisah tentang Cebbhing, gadis dari Desa Karang Penang yang dinikahkan saat usianya baru menginjak 14 tahun. Dibantu oleh sang perias pengantin, Cebbhing yang masih polos dikenalkan pada adat pernikahan, yaitu pembuatan damar kambang. Dibuat dari minyak kelapa, pelepah pohon pisang, dan pintalan kapas di dalam sebuah wadah. Seperti masyarakat Jawa kebanyakan yang hidup dengan segala sesuatu mengandung filosofi, damar kambang pun begitu. Setiap bahan untuk membuat damar kambang berguna, bermakna, dan memiliki filosofi masing-masing. Seperti misalnya, filosofi dari wadah yang menampung bahan-bahan untuk membuat damar kambang:

“Pernikahan adalah wadah kosong, seperti mangkuk ini.” Dia mengangkat mangkuk menegaskan perkataannya. “Satu sama lain dipertemukan dalam kesepakatan untuk hidup bersama, berkeluarga, tanpa keterpaksaan yang menyudutkan, sebagaimana bibirnya ini. Bundar tak bersudut.” (Halaman 34)

Damar kambang adalah simbol pernikahan. Damar kambang harus dijaga dan tidak boleh mati. Menurut kepercayaan orang Madura, apabila api damar kambang mati maka itu adalah pertanda kurang baik. Damar kambang: terus nyalakan api pernikahan dan pertahankan. 

“Damar kambang adalah lambang harapan pernikahan, jangan biarkan mati.” (Halaman 41)

Selain damar kambang, tradisi yang hadir dalam novel ini adalah mokka’ blabar. Tradisi ini dilakukan sebelum akad pernikahan dilangsungkan. Ini adalah penentu apakah calon pengantin pria diterima dan pernikahan bisa berlangsung, atau justru ia harus pulang membawa kekalahan. Dan Kacong, calon pengantin pria, harus mampu melewatinya agar Cebbhing bisa dibawa pulang.

Nasib Perempuan di Bawah Harkat Martabat Orang Tua

Konflik dimulai sebelum acara mokka’ blabar selesai dilaksanakan. Permasalahan ini dipicu akibat perbedaan adat hantaran. Cebbhing, calon pengantin wanita, yang digambarkan ayu parasnya tak ubahnya barang yang diperjualbelikan karena ia dinilai dari besar-kecilnya barang hantaran yang dibawa. 

“Lihat itu hantaran yang dibawa! Hanya bantal-tikar! Harga pengantin perempuannya tidak lebih dari tiga ratus ribu, taiye!” (Halaman 22)

Di buku ini, hantaran berpengaruh besar pada harga diri orang tua calon mempelai. Semakin besar hantaran dan semakin banyak jumlah hantaran yang dibawa maka semakin bernilai anak mereka itu. Harga diri orang tua calon mempelai akan tercoreng karena anak mereka dinilai hanya sebesar bantal-tikar saja. Tidak jarang pernikahan seorang anak terancam hancur karena ini.

Pernikahan Dini, Tahun Itu dan Tahun Ini

“Ketika anak perempuan menginjak usia belasan tahun, saat itulah orang tua [sic!] mulai dilanda kecemasan. Bagi mereka, memiliki seorang anak perawan lebih berat tanggung jawabnya daripada mengawasi kambing sekandang. Sekali membuat nama keluarga tercemar, seumur hidup arang tercoreng tak akan hilang. Itu sebabnya, tali pernikahan jadi pengikat paling kuat untuk membatasi gerak, sebelum kehendak anak tumbuh beranak-pinak, sebelum mampu mengencangkan urat untuk berontak.” (Halaman 11)

Cebbhing dengan polosnya menerima pernikahan yang akan dijalani dengan orang yang belum dikenal sepenuhnya. Ia belum sepenuhnya mengerti bagaimana dunia sebenarnya bekerja. Namun, ia sudah dihadapkan pada keputusan orang tuanya yang ingin menikahkannya.

“Pun dirimu. Dalam usia empat belas tahun, orang tuamu [sic!] telah merentangkan tali untuk mengikatmu dalam pernikahan dengan lelaki yang belum sepenuhnya kau kenal.” (Halaman 11)

Barangkali kondisi sosial yang ada di buku ini tidak terbatas di wilayah Madura saja, tetapi melebihi batas-batas pulau dan menjadi isu nasional. Tentang pernikahan dini, salah satu isu yang di-highlight dalam buku ini. Ternyata, praktik pernikahan dini terjadi di daerah-daerah yang ada di Indonesia, bahkan hingga saat ini. Sangat mengejutkan. Beberapa saat lalu, misalnya, sepasang remaja di Lombok yang melangsungkan pernikahan usai dikabarkan melakukan tradisi kawin culik (meraqiq) tersebar di media dan menjadi viral. Hal ini cukup membuktikan bahwa pernikahan dini menjadi perhatian publik sekaligus menjadi bahan perdebatan hangat. Muna Masyari mengangkat isu tersebut menjadi sebuah cerita yang dibalut dengan tradisi Madura. 

Mulanya saya dibuat bingung dengan sudut pandang cerita yang dipakai dalam novel ini. Namun setelah dicerna kembali, buku ini menggunakan sudut pandang orang pertama dari beberapa tokoh: Cebbhing, Marinten, ibu Kacong, dan damar kambang—ditandai dengan huruf cetak miring. Sudut pandang kerap beralih dari tokoh Cebbhing ke tokoh yang lainnya. 

Terlepas dari itu, Muna Masyari sangat lihai dalam membalutkan sastra pada tradisi lokal asal daerahnya. Terlihat dari gaya ceritanya. Meskipun buku ini beralur maju-mundur, tetapi kita masih bisa menikmatinya. Selain itu, saya yang bukan penduduk asli Madura terbantu dengan adanya glosarium untuk kosakata bahasa daerah tersebut. Hal ini justru menambah wawasan saya tentang bahasa daerah Madura. 

Buku Damar Kambang tidak hanya menyoroti sebuah tradisi yang ada di Madura—yang mungkin belum pernah kita ketahui. Buku ini juga memberi wawasan baru mengenai kebudayaan yang ada. Bersamaan dengan itu, buku ini juga memberikan gambaran tentang rumitnya kondisi sosial, terutama perselisihan yang terjadi akibat perbedaan tradisi. Disertai juga dengan nasihat-nasihat hidup agar kita lebih menyadari keadaan dan mempertimbangkan hal-hal lain sebelum mengambil keputusan besar, seperti pernikahan. 

“Adanya perselisihan itu wajar dalam keluarga, karena satu sama lain sering berbeda selera. Carilah penyelesaiannya tanpa harus memaksakan kesamaan, sebelum terjadi keretakan yang bisa mengundang perceraian. Hidup sekali, kalau bisa menikah juga cukup sekali, seperti pohon pisang, hidup untuk berbuah sekali saja!” (Halaman 36)

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline