Mohon tunggu...
Enik Rusmiati
Enik Rusmiati Mohon Tunggu... Guru

Yang membedakan kita hari ini dengan satu tahun yang akan datang adalah buku-buku yang kita baca

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nama Orangtua, Bahan Bullying yang Menyakitkan

3 Oktober 2025   12:54 Diperbarui: 3 Oktober 2025   13:01 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar, sumber: KlikDokter

Siapa sangka, pelajaran Bahasa Indonesia yang biasanya penuh canda dan kreativitas bisa berubah jadi ajang adu mulut? Itulah yang terjadi di sebuah kelas ketika saya meminta siswa membuat kalimat. Anak-anak putra dengan kompak memasukkan nama bapak atau ibu teman perempuannya ke dalam kalimat.

Awalnya mereka hanya menganggap itu lucu, tetapi bagi anak-anak perempuan, nama orang tua adalah sesuatu yang sakral dan tak pantas dijadikan bahan main-main. Dari situlah muncul protes, marah, bahkan pertengkaran kecil yang membuat suasana kelas mendadak panas.

Peristiwa ini tampaknya sepele, tapi siapa pun yang pernah menjadi korban tahu rasanya, perih, malu, dan tidak jarang menimbulkan dendam. Bullying dengan menyebut nama orang tua bukanlah hal baru, bahkan sudah turun-temurun. Namun di balik itu semua, dampaknya bisa jauh lebih serius daripada sekadar bahan tawa di kelas.

Bagi sebagian besar dari kita, ejekan dengan menyebut nama orang tua sebenarnya bukan hal asing. Sejak kecil, kita mungkin pernah mendengar teman sebaya memanggil kita dengan nama ayah atau ibu, lalu menertawakannya bersama-sama.

Kebiasaan ini kemudian terbawa sampai generasi sekarang. Bedanya, di era media sosial, ejekan nama orang tua bisa semakin mudah menyebar. Tak jarang ada anak yang membuat video singkat, lalu mengunggahnya ke TikTok atau Instagram. Satu ejekan kecil yang tadinya hanya terdengar di ruang kelas, bisa menyebar ke ratusan mata dalam hitungan menit.

Masalahnya, tidak semua anak punya ketahanan yang sama. Ada yang bisa menanggapinya dengan tawa, ada pula yang langsung merasa sakit hati, bahkan menangis. Lebih jauh, ada anak yang menyimpan rasa perih itu lama sekali, karena ejekan tersebut menyentuh bagian paling sensitif dalam hidupnya, keluarga.

Kenapa nama orang tua jadi sensitif? Nama orang tua bukan hanya sebutan. Ia adalah simbol identitas, kasih sayang, perjuangan, bahkan kenangan. Maka ketika nama itu dijadikan bahan ejekan, seolah-olah kehormatan keluarga ikut dipermainkan.

Bayangkan seorang anak yang ayahnya sudah tiada, lalu nama ayahnya dipakai sebagai bahan lelucon. Atau seorang anak yang ibunya bekerja di luar negeri dan jarang pulang, tiba-tiba mendengar nama ibunya dijadikan contoh kalimat dalam tawa teman-temannya. Perasaan apa yang kira-kira muncul?

Tidak berhenti di situ, bagi anak yang tumbuh dengan pengalaman pahit, misalnya orang tuanya pernah bersikap kasar atau tidak peduli, mendengar nama orang tua disebut sembarangan bisa membangkitkan kembali trauma lama.

Karena itulah ejekan nama orang tua tidak bisa dianggap candaan biasa. Ia bisa menusuk hati lebih dalam dari yang kita bayangkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun