Oleh : Willy Radiant Chandra
Ada satu arah yang tak terlihat namun menjadi penentu ke mana langkah hidup ini akan bermuara. Ia tak bersuara, tapi diam-diam menentukan segalanya. Ia tak memaksa, namun mencengkeram makna di balik setiap pilihan. Itulah kiblat---bukan sekadar arah sholat, tapi pusat orientasi hidup yang sering kali dilupakan.
Dalam keseharian, manusia begitu mudah terseret oleh rutinitas, ambisi, perbandingan, bahkan rasa lelah yang tak sempat dipahami dari mana datangnya. Banyak yang mengejar, berlari, membangun, dan berkompetisi. Tapi ke arah mana? Untuk siapa semua ini? Dan mengapa hati tak juga tenang, walau segalanya telah tampak dimiliki? Mungkin, karena arah kiblat hidup telah bergeser. Atau mungkin, kita tak pernah menentukannya dengan sadar sejak awal.
Sholat, sebagai tiang agama, menuntun jasad untuk teratur, hati untuk tunduk, dan ruh untuk kembali. Tapi bahkan dalam ibadah yang paling sakral pun, bila arah tidak tepat, maka sahnya dipertanyakan. Maka, bagaimana dengan hidup yang dijalani tanpa arah kiblat yang benar? Tanpa menyandarkan seluruh aktifitas-baik lisan, gerak, hingga getar dalam hati-kepada satu tujuan utama: mencari ridho Allah.
Kiblat bukan hanya soal arah geografis. Ia adalah kompas hati. Dan hati, jika tak diarahkan, mudah condong ke segala penjuru. Mudah terkecoh oleh dunia yang menjanjikan, oleh pujian yang memabukkan, atau oleh kenikmatan sesaat yang memudarkan kesadaran akan keabadian.
Kita mungkin tidak menyadari betapa besar pengaruh kiblat dalam kehidupan. Ketika hati tak menghadap kepada-Nya, maka ia akan menghadap kepada yang lain-dan "yang lain" itu sering kali fana, licin, dan menipu. Akhirnya, kita bekerja bukan untuk keberkahan, berbicara bukan untuk kebenaran, berinteraksi bukan untuk cinta yang hakiki, dan bergerak bukan untuk mendekat kepada-Nya.
Tanpa sadar, kita mungkin telah membangun hidup di atas arah yang salah. Dan kesalahan arah, sekecil apa pun, jika dibiarkan terus menerus, akan membawa pada tempat yang jauh berbeda dari tujuan awal.
Bayangkan seseorang yang melakukan perjalanan jauh. Kompasnya rusak, atau ia memilih mengikuti arah mata angin sesuai perasaan. Mungkin awalnya hanya melenceng satu derajat. Tapi semakin jauh ia melangkah, semakin jauh pula ia dari tempat yang seharusnya dituju. Begitulah hidup tanpa kiblat yang benar.
Betapa banyak yang merasa hidupnya kosong di tengah kelimpahan. Betapa banyak yang menangis dalam diam walau senyumnya memancar di hadapan banyak orang. Mereka kehilangan arah, bukan karena tak tahu cara bergerak, tapi karena tak tahu lagi ke mana seharusnya menghadap.
Dan ketika kiblat hidup diabaikan, maka rencana, tujuan, bahkan kebaikan sekalipun bisa kehilangan makna. Sebab, bukan apa yang dikerjakan yang utama, tapi kepada siapa semua itu diarahkan. Karena yang menentukan bukan sibuknya aktivitas, tapi lurusnya orientasi.