Fenomena pelajar ikut-ikutan turun ke jalan dalam aksi demonstrasi beberapa kali mencuat di berbagai daerah. Banyak dari mereka sebenarnya belum memahami isu yang diperjuangkan, melainkan terdorong ikut teman sebaya atau terprovokasi ajakan di media sosial yang bersifat viral dan emosional. Kurangnya literasi demokrasi, minimnya jalur aspirasi di sekolah, serta tekanan untuk diterima dalam pergaulan membuat siswa mencari cara menyalurkan pendapat di luar lingkungan sekolah. Kondisi ini tentu merugikan, baik bagi citra sekolah maupun masa depan siswa.
Karena itu, sekolah memiliki tanggung jawab melakukan mitigasi. Upaya ini perlu dilakukan dengan dua pendekatan: strategi jangka panjang yang membangun kesadaran kritis, seperti pendidikan demokrasi, literasi digital, kepemimpinan, dan forum aspirasi internal; serta langkah praktis yang bisa diterapkan sehari-hari ketika situasi rawan terjadi, misalnya pengawasan satgas sekolah, komunikasi cepat ke orang tua, dan kegiatan alternatif yang menyalurkan energi siswa.
Dengan kombinasi kedua pendekatan ini, siswa tidak hanya terjaga dari risiko ikut demonstrasi secara impulsif, tetapi juga dibekali kemampuan untuk menyuarakan pendapat secara aman, bertanggung jawab, dan konstruktif.
Mitigasi Jangka Panjang
Mitigasi jangka panjang berfokus pada pembentukan karakter dan kesadaran kritis siswa. Langkah-langkah berikut dirancang agar pelajar mampu memahami hak dan tanggung jawabnya, sehingga dapat menyalurkan aspirasi secara aman, santun, dan konstruktif.
Pertama, Edukasi Demokrasi dan Literasi Digital
Sekolah perlu menanamkan pemahaman bahwa kebebasan berpendapat dijamin hukum, tetapi ada cara yang aman, santun, dan konstruktif untuk menyalurkannya. Materi ini dapat disampaikan melalui PPKn, diskusi kelas, seminar, atau menghadirkan narasumber dari akademisi dan tokoh masyarakat.
Literasi digital juga penting agar siswa tidak mudah terprovokasi ajakan demo melalui media sosial atau grup WhatsApp yang menyesatkan..
Kedua, Memperkuat Komunikasi dengan Orang Tua
Koordinasi intens antara sekolah, orang tua, dan siswa menjadi kunci. Grup komunikasi aktif, pertemuan berkala, dan wali kelas yang responsif membantu orang tua memantau aktivitas anak, sehingga lebih cepat mendeteksi indikasi keterlibatan ajakan demonstrasi.