Lihat ke Halaman Asli

Ketika Branding Lebih Penting dari Minta Maaf

Diperbarui: 2 Agustus 2025   16:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Adu Pendidikan Deddy Corbuzier vs Timothy Ronald. (Instagram) 

Berapa harga sebuah kata "maaf" di zaman sekarang? Dulu, kata itu adalah jembatan untuk memperbaiki hubungan, penanda kerendahan hati, dan lem perekat sosial. Tapi tampaknya, di panggung gemerlap media sosial, harganya telah meroket hingga tak ternilai. Bahkan, ada yang menganggapnya sebagai racun yang bisa menghancurkan sebuah aset paling berharga, yaitu branding.

Anda membuat sebuah pernyataan yang menyinggung banyak orang. Situasi memanas. Seorang teman yang lebih senior dan bijak menasihati Anda, "Bro, minta maaf saja. Redakan situasinya." Apa jawaban Anda? Jika jawaban Anda adalah, "Gue nggak akan pernah minta maaf. Karena kalau gue minta maaf, branding gue rusak," maka selamat, Anda baru saja menjadi pusat dari sebuah fenomena budaya yang sedang dibedah dalam tulisan ini.

Kalimat sakti itulah yang menjadi inti dari ledakan terbaru di akun Instagram Deddy Corbuzier. Sebuah kalimat yang lebih dari sekadar curhatan, melainkan sebuah jendela untuk mengintip pola pikir aneh yang kini menjangkiti sebagian kreator di ruang digital kita. Ini bukan lagi sekadar drama influencer, ini adalah gejala dari sebuah penyakit yang lebih dalam.

Sindiran Deddy Corbuzier bongkar fenomena influencer (diduga Timothy Ronald) yang lebih mementingkan 'branding' daripada karakter dan menolak minta maaf. - Tiyarman Gulo

Kronologi

Semua bermula pada Jumat, 1 Agustus 2025. Lewat sebuah unggahan video yang khas dengan gaya blak-blakannya, Deddy Corbuzier menceritakan sebuah dialog panas dengan temannya. Ceritanya sederhana, sang teman dengan entengnya menghina kaum vegetarian, menyebut mereka "tolol" dan "nggak punya otak."

Bagi Deddy, yang podcast-nya menjadi arena bagi berbagai macam pemikiran, ucapan semacam itu adalah sebuah pelanggaran etika publik. Ia pun menyarankan solusi paling logis di dunia, minta maaflah. Namun, jawaban yang ia terima justru membuatnya terperangah. Penolakan untuk meminta maaf itu tidak didasari oleh keyakinan atau prinsip, melainkan oleh alasan yang sangat kalkulatif dan dingin, yaitu takut merusak "branding" yang sudah susah payah dibangun.

Di titik inilah Deddy tampaknya kehilangan kesabaran. Ia menutup telepon dan menyimpulkan ceritanya dengan sebuah kalimat pamungkas yang menusuk tajam, "Ini bukan tentang vegetarian, ini tentang monyet."

Sebuah kalimat yang cerdas. Deddy secara brilian mengalihkan fokus. Masalahnya bukan lagi soal pro-kontra gaya hidup vegetarian. Masalahnya adalah tentang sikap keras kepala yang tidak rasional, sebuah keengganan untuk mengakui kesalahan demi mempertahankan citra buatan. Persis seperti seekor monyet yang memegang erat sebuah pisang di dalam toples, tak mau melepaskannya meski itu berarti ia akan terus terperangkap.

Mengapa Netijen Mengarah ke Timothy Ronald?

Deddy Corbuzier tidak pernah menyebut satu nama pun. Ia membiarkan ceritanya menggantung, menjadi sebuah teka-teki bagi jutaan pengikutnya. Namun, internet adalah ekosistem yang luar biasa dalam menghubungkan titik-titik. Tak butuh waktu lama bagi warganet untuk berspekulasi dan, dengan suara bulat, menunjuk satu sosok, yaitu Timothy Ronald.

Mengapa? Karena pola perilakunya sangat cocok, seperti sebuah kunci yang pas masuk ke dalam lubangnya.

Mari kita putar waktu sedikit ke belakang. Belum lama ini, Timothy Ronald, seorang influencer di bidang keuangan dan investasi yang dikenal dengan persona "alpha male" dan anti-mainstream, memicu kontroversi serupa. Ia dengan percaya diri menyatakan bahwa orang yang pergi ke gym untuk membentuk otot adalah kegiatan "bodoh". Sebuah pernyataan yang, tentu saja, menyinggung komunitas fitness dan bahkan orang awam yang menganggap olahraga sebagai bagian dari hidup sehat.

Deddy Corbuzier, seorang praktisi fitness sejati, sempat merespons pernyataan tersebut. Ia tidak menyerang secara personal, melainkan mengkritik idenya, menyebutnya tidak pantas disampaikan ke publik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline