Lihat ke Halaman Asli

Sebuah Karya Indah yang Tidak Pernah Sempurna: Canisius College Cup

Diperbarui: 5 Oktober 2025   15:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto Kolese Kanisius di Malam Hari saat CC CUP

Setiap tahun, di tengah padatnya rutinitas sekolah dan hiruk-pikuk kota Jakarta, Kolese Kanisius menjelma menjadi lautan semangat muda. Spanduk terbentang, musik bergema, dan langkah-langkah panitia berpadu dalam ritme persiapan yang panjang. Semua orang tahu: Canisius College Cup telah kembali.

Bagi sebagian orang, CC CUP hanyalah kompetisi olahraga dan seni antar-SMA dan SMP. Sebuah ajang tahunan yang memang menyenangkan tetapi hanyalah sebuah ajang perlombaan biasa. Namun bagi mereka yang menjalaninya dari dalam, ajang ini jauh lebih dari sekadar perlombaan. Ia adalah proses membangun karakter, menemukan makna perjuangan, dan belajar menerima ketidaksempurnaan diri.

Di balik sorak-sorai penonton, tepuk tangan kemenangan, dan kemarahan akan kekalahan ada kalimat sederhana yang menjadi pegangan banyak orang:

"A beautiful thing is never perfect."

Kalimat itu bukan sekadar tema acara, melainkan refleksi hidup yang lahir dari pengalaman nyata, dari setiap malam lembur, setiap kegagalan kecil, dan setiap tawa yang menyertai rasa lelah.

Belajar dari Ketidaksempurnaan
Canisius College Cup bukan hanya tentang menang atau kalah. Canisius College Cup adalah cermin kecil dari kehidupan. Dalam setiap tahapnya, rapat yang tak berujung, perbedaan pendapat, kelelahan fisik, anak muda belajar menghadapi realitas: bahwa membangun sesuatu yang indah selalu melibatkan kekacauan.

Kita sering diajarkan bahwa kuat berarti tidak pernah lelah, tidak pernah takut, selalu tahu apa yang harus dilakukan. Padahal, kekuatan justru tumbuh dari keterbatasan yang diakui, dari rasa lemah yang diterima dengan jujur.

Rasa kecewa muncul saat hasil kerja keras tidak sesuai harapan. Rasa takut datang ketika tanggung jawab terasa terlalu besar. Dan kelemahan terasa nyata saat energi mulai menipis.
Namun justru di sanalah proses tumbuh terjadi.
Kekecewaan mengajarkan kita untuk lebih sabar, ketakutan melatih keberanian, dan kelemahan menumbuhkan empati.

Keindahan bukan datang dari hasil yang sempurna,
tetapi dari perjalanan yang dijalani sepenuh hati meski penuh cela.

CC CUP menjadi tempat di mana anak muda berhadapan langsung dengan batas dirinya, dan menemukan bahwa batas itu bisa diperluas. Bahwa gagal bukan akhir, melainkan awal dari proses memperbaiki diri.

Magis: Menjadi Lebih Tanpa Harus Sempurna
Dalam semangat Ignasian, ada satu kata yang sering diulang di lingkungan Kanisius: magis, semangat untuk selalu menjadi lebih. Namun "lebih" di sini bukan berarti harus selalu menang atau paling hebat.

Magis berarti berani melangkah lagi, bahkan ketika semangat sudah menipis.
Berani memperbaiki diri setelah kecewa.
Berani membuka diri pada kritik, dan tetap melanjutkan perjalanan meski tak sempurna.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline