Refleksi untuk Jiwa Peka yang Ingin Menjaga Tapi Juga Ingin Tetap Terhubung
Disclaimer:
Tulisan ini bukan kisah cinta, melainkan refleksi pribadi tentang pertemanan lintas gender dan dinamika emosional di baliknya. Aku bukan psikolog --- hanya seseorang yang mencoba memahami pengalaman ini dengan bantuan insight dari teknologi AI yang menemaniku menulis.
Aku perempuan >45 tahun, single mom, yang sudah cukup lama menikmati hidup dengan tenang dan mandiri.
Aku sudah terbiasa bersahabat dengan banyak orang, laki-laki maupun perempuan, tanpa beban atau prasangka.
Lalu suatu hari, aku berteman dengan seorang laki-laki >35 tahun.
Dia sudah berkeluarga, orangnya sopan, ringan diajak ngobrol, dan punya aura tenang yang menyenangkan.
Awalnya hanya teman main di komunitas olahraga, tapi lama-lama, percakapan kami terasa nyambung.
Bukan romantis, bukan flirting, hanya koneksi yang... hangat.
Tapi rupanya, di mata sebagian orang, kedekatan seperti itu sulit diterima begitu saja.
Apalagi ketika yang satu single mom berusia jauh lebih tua, dan yang satu laki-laki muda beristri.
Dan di sinilah semua mulai terasa rumit, bukan karena kami melanggar batas, tapi karena kami terlalu takut dianggap melanggar.
Awalnya hanya obrolan ringan. Tentang olahraga, tentang hobi, kadang hanya sapaan basa-basi di sela aktivitas. Tapi entah bagaimana, pertemanan itu terasa tumbuh... lalu perlahan berubah arah.
Bukan karena cinta, bukan juga karena hasrat tersembunyi. Tapi ada sesuatu di antara: kedekatan yang nyaman, rasa saling menjaga, dan keinginan untuk tetap berada dalam ruang aman.
Hanya saja, yang sering kali tak kita sadari bahkan niat paling tulus pun bisa menimbulkan luka, kalau tidak disampaikan dengan jelas.
Ketika "Jaga Jarak" Dimulai dari Niat Melindungi
Aku mulai merasa waspada bukan karena orangnya bersikap tidak pantas, tapi karena satu komentar teman yang membunyikan alarm sosial di kepalaku:
"Dia approach lo."