Lihat ke Halaman Asli

Tengku Raihan

Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISIP USU angkatan 2023

Senjakala Media Tradisional: Bertahan, Beradaptasi, atau Mati di Tengah Gempuran Konvergensi?

Diperbarui: 14 Oktober 2025   01:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Masih lekat dalam ingatan, aroma khas kertas koran yang baru datang di pagi hari, atau suara penyiar radio favorit yang menemani perjalanan di tengah kemacetan. Dulu, media adalah ritual. Kita menunggu jadwal tayang berita malam untuk berkumpul di depan televisi. Kini, ritual itu telah usang. Di genggaman tangan kita, sebuah portal tanpa batas bernama smartphone telah merangkum koran, radio, dan televisi menjadi satu entitas cair yang bisa diakses kapan saja dan di mana saja.

Inilah era konvergensi media, sebuah tsunami digital yang tak hanya mengubah cara kita mengonsumsi informasi, tetapi juga secara brutal mengguncang fondasi industri media tradisional yang telah mapan selama berpuluh-puluh tahun. Pertanyaannya bukan lagi "apakah media tradisional akan terdampak?", melainkan "apakah mereka sedang menjalani senjakala menuju kematian, atau mampukah mereka beradaptasi untuk menyambut fajar yang baru?"

Kematian adalah pilihan yang paling mudah terlihat. Kita telah menyaksikan banyak sekali korban: majalah-majalah legendaris yang berhenti cetak, koran-koran lokal yang gulung tikar, dan stasiun radio yang suaranya kian sunyi. Penyebabnya jelas. Pertama, kue iklan yang menjadi napas utama mereka telah direbut oleh raksasa digital seperti Google dan Meta, yang menawarkan jangkauan lebih tertarget dan terukur. Kedua, perilaku konsumen telah berubah drastis. Generasi baru tidak lagi memiliki loyalitas pada satu brand media, melainkan pada kecepatan, interaktivitas, dan personalisasi konten yang ditawarkan platform digital.

Media tradisional tak bisa lagi mengandalkan model bisnis lama. Menjual berita yang sama di platform cetak dan digital tanpa diferensiasi adalah sebuah bunuh diri perlahan. Audiens tidak akan mau membayar untuk informasi yang bisa mereka dapatkan secara gratis dan lebih cepat di tempat lain.

Namun, menyatakan media tradisional akan "mati" adalah sebuah simplifikasi yang berbahaya. Yang sesungguhnya terjadi adalah sebuah proses seleksi alam yang kejam. Hanya mereka yang mampu beradaptasi secara radikal yang akan bertahan. Adaptasi ini bukan sekadar membuat situs web atau akun media sosial sebagai "etalase" dari edisi cetak. Ini adalah tentang transformasi total.

Bentuk adaptasi yang berhasil setidaknya mencakup tiga hal. Pertama, diversifikasi pendapatan. Media tidak bisa lagi bergantung 100% pada iklan. Model bisnis seperti langganan konten premium (paywall), e-commerce, penyelenggaraan event (webinar atau seminar), dan produksi konten kreatif untuk pihak lain menjadi jalur kehidupan baru. Lihat bagaimana beberapa media besar kini memiliki unit bisnis event organizer atau content marketing yang kuat.

Kedua, memanfaatkan keunggulan inti. Di tengah lautan misinformasi dan hoaks, media tradisional memiliki aset paling berharga yang tidak dimiliki oleh influencer atau portal berita abal-abal: kredibilitas. Jurnalisme yang mendalam, investigatif, dan terverifikasi adalah nilai jual utama mereka. Mereka harus memposisikan diri bukan sebagai yang tercepat, tetapi sebagai yang paling tepercaya. Kualitas adalah benteng pertahanan terakhir mereka.

Ketiga, merangkul teknologi, bukan melawannya. Adaptasi berarti mengubah ruang redaksi menjadi laboratorium konten. Berita tidak lagi hanya teks dan foto, tetapi juga video vertikal, infografis interaktif, podcast, dan dokumenter. Mereka harus belajar bercerita dalam berbagai format untuk menjangkau audiens di berbagai platform.

Pada akhirnya, senjakala ini bukanlah akhir dari segalanya, melainkan sebuah filter. Konvergensi media akan mematikan entitas yang malas, arogan, dan gagal membaca zaman. Namun, bagi mereka yang cerdas, lincah, dan berani berevolusi, ini adalah sebuah kesempatan untuk terlahir kembali dalam wujud yang lebih kuat dan relevan.

Media tradisional tidak sedang sekarat; ia sedang dipaksa untuk berganti kulit. Apakah kulit baru itu akan membuatnya terbang lebih tinggi atau justru jatuh terhempas, jawabannya terletak pada kemauan mereka untuk berubah, hari ini juga.

Era konvergensi media bukanlah akhir dari media tradisional, melainkan proses evolusi. Ia mematikan entitas yang malas, arogan, dan gagal membaca zaman, tetapi memberi ruang bagi mereka yang berani bereksperimen.

Media tidak sedang sekarat; mereka dipaksa berganti kulit. Apakah kulit baru itu akan membuatnya terbang lebih tinggi atau justru terhempas, bergantung pada kemauan mereka untuk berubah hari ini juga.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline