Lihat ke Halaman Asli

Cerpen | Putriku dan Sang Pelamar Nekat

Diperbarui: 12 Februari 2019   07:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

bing.com

Anak laki-laki yang kini berada di hadapanku bermata teduh. Memandang wajahnya membuat perasaanku yang semula ragu menjadi yakin, kedamaian yang hadir dihatinya telah menular begitu cepat kepadaku. 

"Kau teman Ghania? Berapa lama kalian saling mengenal?" tanyaku lembut walaupun masih bernada selidik.

"Ya, benar, Bu! Saya teman satu pengajian dengan Ghania. Perkenalkan nama saya Bintang Ibrahim, panggil saya Ahim," jawabnya penuh percaya diri dan sikapnya tetap khidmat.

"Kau masih kuliah atau sudah bekerja, Nak Ahim?"

Aku bertanya sembari menggigit bibir. Pertanyaan stereotip yang sengaja kuhindari bila menghadapi teman-teman anak perempuanku satu-satunya. Akhirnya kutanyakan jua. Ini menyangkut lamarannya pada Ghania. Seorang diri saja. Tanpa ditemani siapa pun adalah sebuah keberanian tersendiri atau nekat?

"Saya hanya bersekolah hingga kelas dua SMA, putus sekolah. Saya bekerja sebagai kuli angkut selama satu tahun. Kemudian Pak Pingzi menjadikan saya sebagai tangan kanannya untuk ekspor rempah seperti lada dan cengkeh ke beberapa negara. Sampai sekarang pekerjaan saya masih bergerak dalam bidang itu, Bu Anisah," tutur Ahim lancar dan tetap dengan kepercayaan diri yang tinggi. Dua kali ia membenahi letak kacamatanya.

Postur tubuh Bintang Ibrahim memang tak terlampau istimewa, tapi isi jiwanya itu yang membuatku terpesona. Seorang anak lelaki yang pemberani dan sopan telah meminta Ghania untuk dijadikan istrinya.

Perbedaan pendidikan mereka cukup jauh. Ghania sebentar lagi lulus S2, sanggupkah Ahim mengejar cara berpikir anak perempuannya. Belum lagi sebuah perusahaan bonafide telah memintanya menjadi kepala IT, CITO. Kisaran gaji yang diterima bisa berkali lipat yang pastinya bakal menyita waktu serta merubah pergaulannya. Apakah Ghania bisa tetap hormat pada suaminya kelak?

Berpuluh pertanyaan tiba-tiba berkecamuk. Hanya satu pertanyaan yang terlontar dariku, "Kau sudah makan, Nak Ahim?"

"Saya sedang shaum, Bu."

"Bila Ibu hendak makan siang, Saya bersedia menunggu."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline