Lihat ke Halaman Asli

Taufik Uieks

TERVERIFIKASI

Dosen , penulis buku “1001 Masjid di 5 Benua” dan suka jalan-jalan kemana saja,

Joko Tingkir Bag 19

Diperbarui: 26 September 2025   10:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Joko Tingkir : skrinsyut 


Joko Tingkir -- Bagian 19: Utusan Jipang di Panarukan

Di Panarukan, sebuah kota pelabuhan di ujung timur tanah Jawa, aroma asin laut bercampur dengan bau rempah dari gudang-gudang yang menumpuk hasil bumi. Dermaga dipenuhi kapal-kapal niaga, sebagian dari Bali, sebagian dari Gresik, dan ada pula jung-jung asing dengan layar tinggi. Suasana ramai, tapi di balik hiruk-pikuk perdagangan itu, bayangan kecemasan menggantung.

Di alun-alun kecil dekat pasar ikan, sebuah rombongan memasuki kota. Mereka tidak mengenakan tanda kerajaan Demak, melainkan panji hitam dengan garis merah menyala---lambang Jipang. Orang-orang segera menepi, menunduk, sebagian lagi memilih bersembunyi di balik pintu rumah.

Di depan rombongan, seorang lelaki berwajah keras dan berjanggut tipis duduk tegak di atas kudanya. Dialah Ki Tumenggung Suradipa, utusan khusus Arya Penangsang. Tatapannya tajam, suaranya berat, dan langkah kudanya terdengar mantap di antara jalan berbatu.

Seorang pedagang rempah berbisik lirih, "Itu utusan Jipang. Kalau mereka sudah sampai Panarukan, berarti angin perang akan segera bertiup."

Suradipa dan rombongannya berhenti di balai kota. Dengan lantang ia berkata kepada penguasa setempat, "Atas nama Adipati Jipang, Arya Penangsang, kami datang menegaskan bahwa Panarukan berada dalam perlindungan Jipang, bukan Demak. Setiap kapal yang berlabuh, setiap rempah yang diperdagangkan, harus tunduk pada perintah Arya Penangsang."

Suasana hening, hanya debur ombak yang terdengar. Para petugas pelabuhan saling pandang, ragu menjawab. Mereka tahu, pasukan Demak sedang dalam perjalanan, dipimpin oleh Joko Tingkir. Tapi kini, utusan Jipang sudah lebih dulu menancapkan pengaruhnya.

Di sebuah sudut pasar, seorang nelayan tua berbisik pada anaknya, "Badai akan datang. Laut bergelora, daratan pun berguncang. Lihatlah, anak muda yang mereka sebut Karebet itu, apakah sanggup melawan bayangan hitam Jipang?"

Utusan Jipang tidak menunggu jawaban. Mereka mengibarkan panji hitam di depan balai, seolah menancapkan klaim atas kota itu. Dari kejauhan, burung gagak melintas, menambah muram langit Panarukan.

Kabar kedatangan utusan itu menyebar cepat, seperti api membakar ilalang kering. Dan hanya soal waktu sebelum berita itu sampai ke telinga Karebet dan pasukan Demak yang sedang beristirahat di perjalanan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline