Mungkin ini judul yang menarik dan terlintas di pikiran secara spontan. Biasanya, kutu dan buku menjadi identik bagi pencinta buku. Begipun pejabat kita, tepatnya secara umum pejabat kita bukan kutu buku. mereka tak ingin disebut kutu. Mereka lebih suka disebut "yang terhormat.
Kita tahu, para pejabat kita lahir dari masyarakat juga, dengan karakter yang hampir sama. kadang ada transaksi antarkeduanya. seperti dua sisi mata uang.
jadi kembali ke soal buku, kembali ke pengalaman awal para pejabat itu. miskin dan kaya tidak menjamin minat terhadap buku, tapi menjadi variabel. Anggaplah pejabat kita adalah orang orang populis, yang dinilai dari popularitasnya, jadi peran buku dan bacaan tidak dianggap dalam variabel kematangan calon pejabat.
Kita, tepatnya masyarakat umum tidak meninjau seberapa banyak buku yang telah dibaca oleh calon pejabat, dan bagaimana buku itu akan memengaruhi cara pandang dan sikap kerjanya.
Kita tahu banyak buku buku yang baik yang dapat diasup oleh otak pejabat kita. Tapi mungkin, banyak dari buku itu terlalu berat bagi mereka sehingga lebih memilih belanja yang mubazir untuk pamer, dari pakaian, koleksi mobil dan mainan iron man, serta jalan jalan.
Jadi karena buku adalah dunia ide dan penyemaian gagasan maka miskinnya pejabat dari tradisi ini akan menjauhkan mereka dari sikap kenegarawanan.
Hingga yang lahir adalah para pejabat yang menganggao jabatannya sebagai aset untuk kapitalisasi ekonominya. hanya itu!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI