Matahari jelang siang sungguh garang. Itulah sebabnya saya mempercepat langkah. Tujuannya segera mencapai kawasan pertokoan Malioboro.Â
Kalau sudah sampai di situ 'kan bisa berjalan di sepanjang emperannya. Walaupun tetap terasa gerah, paling tidak kepala bisa terlindungi dari sengatan sinar matahari.
Namun, apa boleh buat? Tiba-tiba sirine penanda sepur (kereta api) hendak lewat berbunyi. Tepat persis ketika kaki saya mulai menapak di trotoar tempat sirine itu berada.Â
Automatis langkah saya terhenti. Kereta apinya memang belum terlihat sama sekali. Akan tetapi, pintu perlintasan telah menutup. Itu berarti semua orang mesti menghentikan langkah jika mau selamat.
Saya amati sekeliling. Syukurlah. Tak ada satu pun yang mbrobos alias nekad menerabas palang pintu perlintasan. Semua orang, baik yang dari utara seperti saya maupun yang dari selatan, sabar menanti si ular besi lewat.Â
Sudah pasti saya tak menyia-nyiakan kesempatan. Segera menyiapkan kamera ponsel dengan antusias. Bersiaga memvideokan momentum sepur lewat.
Hmm. Kiranya saya sudah menjadi orang Jogja sejati. Sebab konon, orang Jogja punya kearifan lokal hobi nonton sepur lewat. Silakan Anda cek di titik-titik kereta api lewat, yang lokasinya enak buat nongkrong atau punya panorama indah. Ramai atau sunyi?
Nah! Karena banyak orang berkumpul, banyak pula anak-anak, tak jarang di titik-titik itu kemudian banyak orang berjualan jajanan dan minuman. Seru 'kan?Â
Coba Anda bayangkan betapa romantisnya, ramai-ramai bersama orang-orang random menikmati deru sepur yang melintas di bawah langit senja. Mungkin dikompleti dengan mengudap cilok atau meneguk es teh jumbo. Wuih!
Dari berbagai sumber yang saya rasakan masuk akal maupun sekadar rumor, ada beberapa hal yang membuat orang Jogja hobi nonton sepur lewat. Apa saja itu?Â
