Lihat ke Halaman Asli

Syanne

An educator, a wife, a mother to two

Asta Cita, Skema "Burden Sharing" dan Pertaruhan Ekonomi Indonesia

Diperbarui: 8 September 2025   13:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

BI dan Kemenkeu Berbagi Beban (Sumber: AI)

Sebuah istilah lama dari masa pandemi kembali muncul dan menghangatkan panggung ekonomi politik Indonesia: burden sharing. Di tengah optimisme menyambut pemerintahan baru, skema "berbagi beban" antara Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia (BI) ini diwacanakan kembali sebagai salah satu opsi untuk membiayai program ambisius “Asta Cita”.

Gagasan yang pernah menjadi solusi darurat di tengah krisis COVID-19 ini sontak memicu sentimen negatif dan perdebatan sengit di kalangan ekonom. Program Asta Cita, yang digagas oleh presiden terpilih Prabowo Subianto, memang membutuhkan dana raksasa. Program unggulan seperti makan bergizi gratis, misalnya, diperkirakan akan menelan biaya lebih dari Rp 400 triliun setiap tahunnya—sebuah angka fantastis yang menjadi tantangan berat bagi APBN.

Maka, burden sharing, sebuah mekanisme di mana BI membeli Surat Berharga Negara (SBN) langsung di pasar perdana untuk menambal defisit anggaran, diajukan sebagai jalan keluar. Namun, jalan yang dulu ditempuh karena kondisi luar biasa ini dipandang sangat berisiko jika diterapkan dalam situasi normal. Setidaknya, ada tiga risiko besar yang mengintai di balik kebijakan yang terdengar pragmatis ini.

1. Hantu Inflasi yang Siap Bangkit

Risiko pertama dan yang paling dikhawatirkan adalah inflasi. Skema burden sharing dikuatirkan merupakan istilah yang lebih halus untuk kebijakan 'mencetak uang'.  Mekanisme ini akan menambah jumlah uang yang beredar di masyarakat secara drastis.

Ketika suplai uang melimpah sementara jumlah barang dan jasa relatif tetap, hukum ekonomi dasar akan berlaku: nilai uang akan tergerus, dan harga-harga kebutuhan pokok akan meroket. Dampaknya akan terasa langsung oleh seluruh lapisan masyarakat, menggerus daya beli dan meningkatkan biaya hidup. Ironisnya, masyarakat berpenghasilan rendah yang menjadi target utama program Asta Cita justru akan menjadi korban pertama dari inflasi yang tak terkendali.

2. Goncangan Hebat pada Nilai Tukar Rupiah

Ketika sebuah bank sentral secara aktif membiayai defisit fiskal pemerintah, kepercayaan investor—baik domestik maupun internasional—akan langsung goyah. Mereka akan melihat kebijakan ini sebagai sinyal kepanikan fiskal dan tanda pengelolaan ekonomi yang tidak prudent. Akibatnya, seperti yang diwanti-wanti para ekonom, para investor akan berbondong-bondong melepas aset berdenominasi rupiah dan memindahkannya ke mata uang yang lebih stabil.

Aksi jual rupiah secara masif ini akan memberi tekanan hebat pada nilai tukar. Pelemahan rupiah bukan hanya masalah angka di layar monitor. Ini berarti harga barang-barang impor, mulai dari bahan baku industri hingga gandum untuk mi instan, akan menjadi lebih mahal. Beban utang luar negeri pemerintah dan swasta juga akan membengkak, menciptakan efek domino yang menekan seluruh perekonomian.

3. Menggadaikan Independensi Bank Indonesia

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline