Ketika Kejaksaan Agung menetapkan mantan Mendikbudristek Nadiem Makarim sebagai tersangka pada awal September lalu, publik masih berada dalam bayang-bayang kemarahan akibat kelakuan pejabat publik yang minim empati terhadap kehidupan rakyat yang semakin sulit. Saat status Nadiem ini diumumkan, emosi publik masih labil lantaran kemarahan mereka tak kunjung mendapat jawaban.Â
Kemarahan itu telah dilampiaskan melalui rangkaian demonstrasi yang diikuti dengan aksi penjarahan ke rumah pejabat, hingga gelombang protes di media sosial. Aksi- aksi ini tidak berdiri sendiri, melainkan akumulasi dari kekecewaan panjang, dari rasa dipermainkan oleh narasi manis yang tak pernah berbuah kerja nyata.Â
Ketika publik masih bertanya-tanya mengapa kemarahan mereka tak kunjung mendapat jawaban, Kejaksaan Agung menambahkan lapisan baru pada krisis kepercayaan itu: penetapan mantan Mendikbudristek Nadiem Makarim sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan Chromebook dengan potensi kerugian negara hampir Rp2 triliun.
Bagi banyak orang, berita ini bukan kejutan, melainkan konfirmasi bahwa di balik janji reformasi dan digitalisasi pendidikan yang dielu-elukan, tata kelola negara masih dibayangi praktik lama: pengadaan yang sarat kepentingan, retorika pejabat yang lebih sibuk menenangkan citra ketimbang memperbaiki substansi. Maka wajar bila kemarahan publik kian sulit diredam---narasi indah pemerintah justru berubah menjadi bahan bakar amuk massa.
Jurang Janji dan Praktik
Reformasi birokrasi yang seharusnya membenahi sistem ternyata hanya melahirkan jargon baru. Digitalisasi pendidikan yang digadang-gadang sebagai tonggak kesetaraan akses belajar kini dipertanyakan. Chromebook yang semula dipromosikan sebagai simbol modernisasi, justru menjadi pintu masuk bagi praktik korupsi klasik: mark-up harga, distribusi tak merata, hingga spesifikasi barang yang dipertanyakan.
Kejaksaan Agung mencatat kerugian negara mencapai Rp1,98 triliun. Angka ini bukan sekadar statistik, tetapi representasi nyata dari ribuan sekolah yang seharusnya mendapat fasilitas, guru yang membutuhkan perangkat untuk mengajar, dan siswa di pelosok yang tetap terjebak dalam keterbatasan. Alih-alih menjadi jembatan menuju Indonesia Emas, proyek ini justru memperlebar jurang ketidakadilan pendidikan.
Ironi terbesar terletak pada bahasa yang digunakan. Retorika digitalisasi, pendidikan 4.0, hingga jargon "merdeka belajar" terdengar megah di ruang konferensi, tetapi tidak berjejak di lapangan. Publik merasa dibohongi, karena narasi yang dijanjikan tak pernah bersentuhan dengan kenyataan. Inilah titik di mana janji besar negara justru runtuh di tangan praktik kecil bernama korupsi.
Tata Kelola yang Keropos