Di luar hujan deras. Tiba-tiba saya teringat akan ruang tamu tepat kami pernah bertemu, bertukar cerita lalu pamit pulang. Jauh sebelum itu, melalui media sosial, kami begitu dekat seperti tanpa sekat. Semua itu berangkat dari mimpi dan harapan yang sama. Mengenalkan anak-anak kepada buku sejak dini dengan membuat atau membangun sebuah perpustakaan di desa tempat asal kami masing-masing. Boleh jujur, saya dan teman-teman sudah memulainya lebih awal di 11 Maret tahun 2020 melalui Pondok Baca Mataleza Olakile.
Di ruang tamu, siang itu, tanpa kopi, saya lupa persis tanggal dan bulan apa. Yang pasti kami bertemu ditemani temulawak, minuman khas. Di luar tujuan, kami kembali berdiskusi tentang mimpi dan harapan. Saya melihat geliat dan semangatnya yang begitu luar biasa. Anak muda, anak pertama dan tentu punya tanggung jawab besar dalam keluarga, saya tahu itu karena memang saya sendiri adalah anak pertama dalam keluarga.
Tentang jaringan mendapatkan buku bacaan untuk anak-anak, tentang kemungkinan untuk mendapatkan bantuan dari Perpusnas melalui Mitra TPBIS, kami diskusikan, tak ada yang saya sembunyikan jika berkaitan dengan mimpi yang sama ini. Adalah sebuah kebanggaan jika mimpi saya juga diwujudkan oleh orang lain di tempat yang berbeda demi tujuan mulia ini.
Komunikasi yang intens kadang hilang kontak karena kesibukan masing-masing sebagai seorang guru, tentu kami saling memahami akan hal ini. Pada kesempatan lain kami sering bertemu sebagai lawan di lapangan pertandingan.
Tahun 2025, bulan Juli buku yang saya tulis berjudul, Jangan Baca Buku Ini Jika Sudah Bahagia menarik perhatiannya dan memesannya. Karena faktor kesibukan, saya pun lupa (maafkan saya saudara soal yang ini). Di bulan Agustus, ada komunitas CosCamp dari Kupang yang datang berkolaborasi di Pondok Baca Mataleza Olakile, mengisi kelas Kreasi Sampah dan Nonton bersama, tiba-tiba ada pesan masuk.
"Ame, mereka di Pondok Baca Mataleza Olakile?"
"Ia, Ame. Tapi hari ini mereka sudah ke Bajawa. Mereka sejak tanggal 14 Agustus."
Tidak ada percakapan lanjutan. Jauh setelah itu, ternyata teman-teman dari CosCamp juga sempat menghubunginya tetapi tidak sempat direspon maka tempat kegiatan pun dipindah ke Pondok Baca Mataleza.
Tidak ada hujan, hanya angin bulan Agustus saya mendapat pesan melalui WA, pesan yang menyisahkan pertanyaan dari seroang teman. Waktu itu, saya di kampung, signal agak susah. Ternyata beritanya sudah viral, tentang kepergiannya. Saya sedih dan bertanya-tanya dengan cara ia pergi. Apa benar itu caranya dia mewujudkan mimpinya? Apakah benar murni bundir?
Tepat saat saya menulis ini, di luar hujan masih awet. Saya sangat sedih. Kepergiannya benar-benar mencekam. Tidak sedikit media yang memberitakan kerpegiannya yang janggal. Kepergian pada seutas tali sepatu yang dikenakannya di sebuah pondok tua tempat orang-orang meletakkan lelah?