Lihat ke Halaman Asli

Satrio Wahono

magister filsafat dan pencinta komik

Kompasiana, Wahana Ribuan Pustaka Saya Menitipkan Jiwa Mereka

Diperbarui: 17 September 2025   06:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagian dari ribuan koleksi pustaka yang menanti disapa (sumber: dokumentasi pribadi)

Sejak sekolah menengah atas (SMA, istilah tahun 1980-1990an untuk menyebut jenjang pendidikan setelah sekolah menengah pertama), saya gemar mengkoleksi buku. Kala liburan, hobi saya boleh dibilang nerdy dan geeky (cupu mungkin kalau bahasa sekarang), yaitu pergi ke toko buku seperti Gramedia atau Gunung Agung. Kalau ingin mencari buku impor, saya mendatangi toko buku Maruzen, Rubino, atau Kinokuniya yang terletak di sejumlah mal di ibukota.

Awalnya saya sekadar mengkoleksi komik seperti manga terbitan Elex Media maupun komik impor superhero dari Amerika (penerbit DC, Marvel, dan Image) atau novel remaja ringan seperti Lima Sekawan karya Enid Blyton atau Trio Detektif.

Namun, seiring memasuki kuliah ganda di fakultas sastra dan sosial politik, minat saya bergeser ke bacaan yang lebih berat, terutama sosiologi, politik, sastra, dan filsafat. Apalagi lingkungan sekitar kampus menciptakan ekosistem lapak buku bekas yang mendukung perburuan koleksi literatur yang bukan arus utama. 

Bahkan sesudah lulus, kebiasaan saya menulis kolom di media massa mengharuskan koleksi bacaan berkembang lebih luas. Rak buku yang tadinya hanya satu bertambah terus menjadi rak-rak buku dengan koleksi mencapai beribu-ribu, itu jika dihitung dengan jurnal, prosiding, dan majalah.

Memang, tidak semua koleksi itu saya baca secara tuntas. Saya tipe pembaca acak yang mudah bosan. Jadi belum selesai dengan satu buku, saya sudah beralih ke buku lain, dan begitu seterusnya. Kadang saya hanya mencari kutipan inspiratif untuk tulisan ilmiah atau kolom media massa, sesudah itu deretan pustaka itu melipir, menunggu momen entah kapan lagi disapa di dalam perpustakaan pribadi saya.

Menitip jiwa ke Kompasiana

Seiring waktu, ribuan pustaka itu laksana dijual sayang, disimpan juga akan terbuang dalam waktu (meminjam lagu viral Barasuara), entah karena rusak dimakan rayap atau karena isinya yang tidak lagi aktual. 

Sempat kepikiran untuk membuat resensi kritis untuk setiap buku. Masalahnya, tidak banyak media massa yang memberikan rubrik untuk resensi buku. Bahkan di zaman digital, semakin sedikit ruang untuk itu.

Memang sekarang ada media sosial. Namun karakter instan yang inheren secara filosofis dalam media semacam itu menyebabkan saya merasa itu ruang yang kurang pas. 

Menulis di blog tadinya merupakan pilihan tapi saya orang yang terlalu malas untuk merawat ataupun mempromosikan agresif blog. Opsi ini pun masuk jauh-jauh ke dalam laci pikiran.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline