Kata persatuan menjadi tren satu dua hari belakangan ini. Gara-garanya adalah keputusan Presiden Prabowo Subianto untuk memberikan abolisi kepada terpidana kasus impor pengadaan gula, yakni mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong, dan amnesti kepada terpidana kasus penyuapan komisioner KPU Wahyu Setiawan, yaitu Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto. Alasannya adalah supaya ada persatuan menjelang peringatan hari kemerdekaan Indonesia yang ke-80 pada 17 Agustus 2025 mendatang, demikian kata Menteri Hukum Andi Supratman Agtas (news.detik.com, 31/7/2025).
Hal ini patut mengundang pertanyaan. Ancaman terhadap persatuan seperti apakah yang dibayangkan akan terjadi? Pasalnya, sejauh ini rasanya tidak ada ancaman yang dilontarkan oleh kedua terpidana maupun pendukungnya. Keduanya juga tidak memiliki ideologi yang bersebrangan dengan negara karena keduanya adalah anak bangsa yang pasti memiliki rasa cinta dan pengabdian kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pertanyaan berikutnya adalah: jangan-jangan terdapat mispersepsi tentang apa itu ancaman terhadap persatuan, apalagi jika kita melihat diskursus dan dinamika publik yang ada terkait sila ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia, di era reformasi sebagaimana saya uraikan di bawah ini.
Peta diskursus
Secara praksis, isu persatuan atau nasionalisme menjadi tantangan bagi Indonesia di era Reformasi akibat maraknya aksi-aksi separatisme menyusul keran keterbukaan dan demokrasi yang dilonggarkan. Latar belakang yang membuat tantangan ini kian menakutkan adalah gejala Balkanisasi alias pecahnya beberapa negara di kawasan Balkan menjadi beberapa negara merdeka. Lepasnya Timor Timur dari Indonesia pada 1999 pun kian menambah kecemasan terkait isu persatuan.
Maka itu, diskursus etnosimbolis pun diperkenalkan dalam rangka urun rembuk merespons masalah runtuhnya persatuan atau disintegrasi. Sebagaimana diuraikan Andreas Doweng Bolo dalam antologi Pancasila Kekuatan Pembebas (Kanisius, 2012, hal. 177), perspektif etnosimbolis menegaskan perlunya memperhitungkan kehadiran dunia politik etnis yang kompleks dalam sejarah.
Perspektif ini sesuai dengan realitas majemuk masyarakat Indonesia, sehingga kalkulasi keberagaman etnis itu meniscayakan satu titik temu, yang kemudian dapat dirumuskan dengan nama Pancasila. Berdasarkan alur pikir ini, mengangkat kembali nilai-nilai Pancasila yang berfungsi sebagai titik temu (common consensus/denominator, konsensus-dasar) dianggap sebagai salah satu solusi untuk menghalau bahaya disintegrasi.
Maka itu, otonomi daerah digagas sebagai pelengkap praksis bagi upaya menangkal gejala Balkanisasi tadi. Hasilnya, merujuk laporan harian Kompas dalam Rindu Pancasila (Penerbit Buku Kompas, 2010, hal. 98), ide pembentukan negara federal makin kehilangan gaungnya dan sila Persatuan Indonesia relatif aman, terlepas dari segala ekses otonomi daerah.
Selanjutnya, kerangka teori dari Wasisto Raharjo Jati dalam buku Relasi Nasionalisme dan Globalisasi Kontemporer (LIPI, 2017) dapat membantu menjelaskan munculnya otonomi daerah. Menurut teori ini, ada tiga respons terhadap modus hidup bersatu di tengah kemajemukan: resistensi, revivalisme dan koeksistensi.
Berdasarkan teori ini, resistensi dapat mengambil bentuk upaya-upaya memisahkan diri dari NKRI. Kemudian, revivalisme berujung pada upaya membangkitkan sentimen primordial atau etnonasionalisme untuk minimal mendapatkan status mandiri dan khas sebagai negara bagian dalam bingkai negara federal. Terakhir, koeksistensi (hidup damai berdampingan) menjadi lebih dimungkinkan dalam kerangka negara kesatuan, tetapi dengan memodifikasinya lewat konsep otonomi daerah.