Lihat ke Halaman Asli

Satrio Wahono

magister filsafat dan pencinta komik

Merek Kultus, Proses Branding yang Menarik Untuk Dicoba

Diperbarui: 11 Februari 2025   19:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kover buku terjemahan The Culting of Brands (sumber: koleksi pribadi)

Bagi Anda penggemar bola, terutama liga Inggris, pasti tahu bagaimana kondisi tim Setan Merah Manchester United (MU) saat ini. Terseok-seok di klasemen liga di peringkat 13 dari 20 tim. Asa di sejumlah ajang untuk mengangkat piala juga tampaknya pupus apabila melihat penampilan mereka yang jauh dari prima.

Akan tetapi, tetap saja tim ini punya banyak pemuja fanatik. Salah satunya yang terkenal di Indonesia adalah suami Yura Yunita, musisi Donnie Maula yang bahkan bisa memarahi istrinya kalau tim kesayangannya kalah. Belum lagi fans-fans setia lainnya. Mungkin ada yang bertanya-tanya: kok bisa segitunya ya? Dalam khazanah ilmu manajemen, jawabannya bisa kita dapatkan dari konsep merek kultus (cult brand).

Merek kultus

Merujuk Douglas Atkin dalam bukunya The Culting of Brands (diterjemahkan di Indonesia menjadi Membangun Kesetiaan Merek, B-First, 2006), merek kultus (cult brand) adalah merek yang membangun kesetiaan mirip kesetiaan kultus dan bersifat progresif karena menganut ide-ide yang secara fundamental berbeda atau baru. Mengapa kesetiaan itu terjadi? Karena merek kultus mampu memuaskan kebutuhan-kebutuhan universal berupa kebutuhan untuk memiliki, membuat makna, dan menciptakan identitas. 

Atkin melanjutkan ada empat elemen penting untuk melakukan proses branding membangun merek kultus. Pertama, mulailah kultus dengan sesuatu yang menentang. Singkat kata, rebellious. Kedua, ciptakan tujuan (cause) supaya pemuja merek memiliki makna. Ketiga, berkomitmenlah untuk bersikap autentik. Keempat, ciptakan pengalaman komunal untuk para pemuja bisa bersama-sama. 

Wawasan teoretik ini membantu kita memahami fenomena MU. Kultus MU terbentuk ketika tim Setan Merah ini di bawah asuhan Sir Alex Ferguson memainkan sepak bola progresif yang ofensif dan haus gol. Menurut Ferguson sendiri, banyak gol kemenangan MU justru tercipta di 20 menit terakhir. Yang paling monumental adalah ketika di Final Piala Champions 1999, MU berhasil mengalahkan Bayern Muenchen dengan skor 2 - 1 di mana dua gol kemenangan itu tercipta di 120 detik terakhir babak kedua!

Kemudian, MU memiliki juga pemain-pemain rebel seperti Roy Keane maupun Rio Ferdinand. Pengalaman bersama diberikan dalam stadion megah Old Trafford yang disebut Theater of Dream. Kemudian, MU di bawah Alex Ferguson selalu lapar gelar sehingga fansnya punya tujuan untuk selalu bersama tim kesayangan mereka hingga mencapai gelar demi gelar juara.

Kasus lokal Vindes Corp

Apakah ada studi kasus lokal sebagai aplikasi praktis konsep merek kultus ini? Kita bisa berkaca dari kasus merek Vakansi Dedikasi Semesta (Vindes Corp.) Didirikan pada 2020 kala awal pandemi oleh dua host kenamaan, Vincent Rompies dan Deddy Mahendra Desta, Vindes hanya dalam waktu 5 tahun telah berkembang menjadi kanal Youtube dengan 4,6 juta subscribers dan selalu sukses memelopori sejumlah event hiburan berbalut olahraga (sportstainment) seperti Tiba-Tiba Tenis, Bahkan Voli, dan Bukan Maen (skateboard). Juga, memelopori acara sahur pertama di kanal YouTube, yaitu "Ramadan bareng Vindes". Para sponsor besar pun selalu setia meramaikan acara-acara yang digelar perusahaan ini.

Mengapa Vindes Corps begitu cepat berkembang dari gagasan iseng dua orang yang sedang tidak ada kerjaan karena syuting acara Tonight Show mereka di Net TV berhenti sementara akibat pandemi? Alasannya karena perusahaan ini mampu menerapkan konsep merek kultus. Mari kita bedah satu per satu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline