Pernahkah kamu merasa ingin mengerjakan sesuatu, tapi tubuh dan pikiranmu seperti menolak? Bukan karena kamu tidak peduli, tapi karena kamu sudah terlalu Lelah.
Menurut data Kemenkes 2022 satu dari tiga mahasiswa Indonesia mengalami tekanan psikologis. Tapi ironinya, mereka sering dicap "pemalas" saat tidak produktif. Di balik pelabelan ini tersembunyi sebuah kondisi yang lebih kompleks: mental fatigue atau kelelahan mental.
Mental fatigue adalah kondisi kelelahan kognitif dan emosional yang terjadi setelah seseorang mengalami tekanan mental atau stres berkepanjangan.
Tidak seperti kelelahan fisik yang bisa pulih dengan tidur malam yang cukup, kelelahan mental lebih sulit diatasi dan sering kali tidak dikenali, baik oleh penderitanya sendiri maupun oleh orang di sekitarnya.
Gejalanya meliputi:
- Hilangnya motivasi
- Kesulitan berkonsentrasi
- Rasa hampa atau tumpul secara emosional
- Mudah marah atau sensitif
- Merasa "kosong" atau mati rasa
- Ketergantungan pada distraksi digital seperti scrolling media sosial
Generasi Z tumbuh di era hiper-digital yang penuh tuntutan, ekspektasi tinggi, dan informasi tanpa henti. Bagi pelajar dan mahasiswa, tekanan datang dari banyak arah:
- Akademik: Kurikulum yang padat, tugas bertumpuk, sistem pembelajaran daring-pasca-pandemi yang menuntut kemandirian berlebih.
- Sosial media: Perbandingan hidup dengan orang lain, budaya hustle, dan ekspektasi untuk selalu tampil produktif.
- Finansial: Banyak mahasiswa Gen Z sudah harus mandiri secara ekonomi atau ikut membantu keluarga.
- Ketidakpastian masa depan: Mulai dari krisis iklim, ketidakstabilan ekonomi, hingga lapangan kerja yang makin kompetitif.
Fenomena "productivity guilt" ini menambah tekanan internal, membuat seseorang merasa tidak pernah cukup, tak peduli seberapa banyak usaha yang sudah dilakukan.
Label "malas" sering digunakan secara gegabah tanpa pemahaman kontekstual. Malas biasanya merupakan pilihan sadar untuk tidak melakukan sesuatu karena tidak mau atau tidak tertarik. Sementara itu, mental fatigue adalah kondisi di mana seseorang ingin, tetapi tidak mampu secara mental untuk melakukan aktivitas tersebut.
Sayangnya, stigma ini justru memperparah kondisi. Mahasiswa yang mengalami mental fatigue merasa bersalah, terasing, dan pada akhirnya menarik diri. Mereka mulai memandang diri sendiri sebagai "gagal" atau "tidak cukup kuat", padahal yang mereka butuhkan adalah istirahat dan validasi emosional.
Mengabaikan atau menyepelekan kelelahan mental bisa berdampak serius. Studi dari American Psychological Association (2023) menunjukkan bahwa mahasiswa yang mengalami kelelahan mental kronis berisiko tinggi mengalami gangguan kecemasan, depresi, bahkan burnout akademik total, yaitu di mana seseorang kehilangan semangat dan kapasitas untuk menjalani studi secara keseluruhan.