Lihat ke Halaman Asli

RUBEN PRIANTO SIBURIAN

Mahasiswa Prodi Pendidikan Kimia Universtas Pendidikan Ganesha

Tri Hita Karana sebagai Dasar Filsafat dan Kearifan Lokal dalam Kehidupan Masyarakat Bali

Diperbarui: 10 Oktober 2025   16:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bali tidak hanya dikenal karena panorama alamnya yang menakjubkan dan budayanya yang memikat, tetapi juga karena falsafah hidup masyarakatnya yang sarat makna, yaitu Tri Hita Karana. Ajaran ini menjadi dasar dalam membangun kehidupan yang harmonis dan seimbang antara manusia, Tuhan, sesama, dan alam. Dalam keseharian masyarakat Bali, nilai-nilai Tri Hita Karana bukan sekadar teori, melainkan pedoman hidup yang terwujud dalam tindakan nyata dan diwariskan turun-temurun sebagai bentuk kearifan lokal yang luhur. 

Secara harfiah, Tri Hita Karana berarti tiga penyebab kebahagiaan. Filsafat ini menuntun manusia untuk menjaga keseimbangan melalui tiga hubungan utama, yakni hubungan manusia dengan Tuhan (Parahyangan), hubungan manusia dengan sesama (Pawongan), dan hubungan manusia dengan alam (Palemahan). Ketiga unsur ini saling terhubung dan membentuk satu kesatuan yang utuh. Masyarakat Bali meyakini bahwa kesejahteraan sejati tidak akan tercapai jika salah satu dari hubungan tersebut diabaikan. Dengan menjaga keseimbangan antara spiritualitas, sosialitas, dan lingkungan, kehidupan menjadi lebih damai dan bermakna.

Sebagai filsafat hidup, Tri Hita Karana memberikan arah dalam berpikir dan bertindak. Filsafat ini menanamkan kesadaran bahwa kebahagiaan tidak hanya diukur dari materi, melainkan dari keharmonisan dalam menjalani hidup. Ajaran ini juga menjadi dasar dalam setiap aktivitas masyarakat Bali, mulai dari pelaksanaan upacara keagamaan, hubungan sosial antarwarga, hingga cara mereka memperlakukan alam. Semua dilakukan dengan semangat keseimbangan dan rasa syukur terhadap kehidupan. Dengan demikian, Tri Hita Karana tidak hanya berfungsi sebagai pandangan hidup spiritual, tetapi juga sebagai pedoman moral dan sosial yang relevan sepanjang masa.  

Sebagai kearifan lokal, Tri Hita Karana mencerminkan hasil olah pikir masyarakat Bali dalam beradaptasi dengan lingkungannya. Nilai-nilainya tertanam kuat dalam adat istiadat, struktur sosial, serta sistem kehidupan sehari-hari. Masyarakat Bali memahami bahwa hidup berdampingan secara harmonis akan melahirkan kedamaian, baik dalam diri maupun dalam masyarakat luas. Melalui sistem desa adat, sistem pertanian seperti Subak, dan berbagai tradisi gotong royong, nilai-nilai Tri Hita Karana terus dilestarikan sebagai wujud penghormatan terhadap warisan leluhur sekaligus bentuk tanggung jawab terhadap masa depan. 

Dalam dimensi teologis (Parahyangan), Tri Hita Karana menekankan hubungan manusia dengan Tuhan. Masyarakat Bali mengungkapkan rasa bhakti dan syukurnya melalui berbagai upacara keagamaan, doa, dan persembahan di pura. Misalnya dalam upacara Ngaben, masyarakat tidak hanya menghormati arwah orang yang meninggal, tetapi juga menunjukkan keyakinan akan kesucian siklus kehidupan dan kematian sebagai bagian dari kehendak Ilahi. Begitu pula dalam berbagai ritual syukur atas hasil panen, masyarakat memanjatkan doa sebagai bentuk pengakuan bahwa segala rezeki bersumber dari Tuhan. Nilai Parahyangan mengajarkan pentingnya spiritualitas, rasa syukur, dan ketulusan dalam berhubungan dengan Sang Pencipta. 

Sementara dalam dimensi sosial (Pawongan), Tri Hita Karana mengajarkan pentingnya hubungan harmonis antar manusia. Dalam masyarakat Bali, semangat menyama braya atau persaudaraan menjadi pedoman hidup bersama. Setiap orang diajarkan untuk saling menghormati, tolong-menolong, dan bekerja sama demi kepentingan bersama. Contoh nyata dapat dilihat dalam kegiatan gotong royong di banjar, ketika warga bergandeng tangan mempersiapkan upacara, memperbaiki fasilitas umum, atau membantu sesama tanpa pamrih. Hubungan sosial yang rukun dan penuh solidaritas ini menjadi kunci utama dalam menjaga keharmonisan hidup di tengah masyarakat yang majemuk. 

Dimensi terakhir, yaitu ekologis (Palemahan), berhubungan dengan kesadaran manusia terhadap alam dan lingkungan. Masyarakat Bali meyakini bahwa alam adalah bagian dari kehidupan yang harus dijaga kesuciannya. Melalui sistem Subak, masyarakat tidak hanya mengatur pembagian air secara adil, tetapi juga menjaga keseimbangan ekosistem pertanian agar tetap lestari. Begitu pula pada saat Hari Raya Nyepi, aktivitas manusia dihentikan sejenak agar alam dapat "bernapas kembali". Nilai Palemahan menegaskan bahwa manusia memiliki tanggung jawab moral untuk melindungi alam, karena kelestarian lingkungan adalah sumber kehidupan yang mendukung keberlanjutan generasi mendatang. 

Dari ketiga dimensi tersebut, terlihat bahwa Tri Hita Karana merupakan ajaran yang holistik, mencakup seluruh aspek kehidupan. Ia tidak hanya berbicara tentang hubungan spiritual dengan Tuhan, tetapi juga tentang tanggung jawab sosial dan ekologis. Dalam dunia modern yang penuh tantangan seperti sekarang, nilai-nilai Tri Hita Karana menjadi semakin relevan. Ketika manusia sibuk mengejar kemajuan material, ajaran ini mengingatkan kita bahwa kebahagiaan sejati tidak datang dari kepemilikan, tetapi dari keseimbangan antara batin, hubungan sosial, dan keselarasan dengan alam.

Dengan demikian, Tri Hita Karana bukan hanya warisan budaya Bali, tetapi juga filosofi universal yang dapat diterapkan oleh siapa pun, di mana pun. Ia mengajarkan bahwa kebahagiaan sejati tidak dapat dicapai jika kita hidup secara egois dan mengabaikan hubungan dengan Tuhan, sesama, dan lingkungan. Filsafat ini mengajak setiap manusia untuk kembali pada kesadaran dasar: hidup yang harmonis, penuh rasa syukur, dan selaras dengan semesta. Dalam keseimbangan inilah letak kebahagiaan yang sejati, kebahagiaan yang tidak tergantung pada dunia luar, tetapi tumbuh dari kedamaian di dalam diri dan keharmonisan dengan kehidupan di sekitar kita.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline