"Ada masa ketika aku berpikir semua hal buruk yang terjadi adalah akibat dari kesalahanku sendiri. Aku menyesali pilihan-pilihan yang tampak bodoh bila kulihat sekarang dan merasa seolah menghancurkan hidup sendiri. Namun seiringnya waktu, aku menyadari satu hal yang lebih dalam. Ternyata, selama ini aku menghukum diri sendiri dengan standar yang hanya bisa dimiliki oleh seseorang yang sudah melewati segalanya."
Kita sering lupa bahwa versi diri yang dulu bukan orang yang sama dengan kita sekarang. Ia mungkin lebih polos, lebih takut, atau bahkan lebih berani dalam cara yang kini kita anggap sembrono.Â
Namun ia tetaplah diri kita, seseorang yang berjuang sekuat yang ia tahu untuk bertahan pada waktu itu. Setiap keputusan yang ia buat, betapa pun keliru hasilnya, lahir dari kehendak yang tulus untuk mencari arah.
Kita yang Dulu, Sudah Berusaha
Sering kali kita memaksa diri untuk memahami masa lalu dengan cara logika masa kini. Kita menilai keputusan yang dulu dengan pengetahuan yang sekarang kita punya.
Padahal yang dulu tidak punya kesempatan untuk tahu lebih baik. Ia hanya bergerak dengan cahaya yang sejauh itu terlihat.
Ada kalanya, keputusan yang tampak salah justru menjadi jalan menuju kesadaran yang lebih dalam. Rasa sakit yang dulu kita benci ternyata menjadi pintu yang membuat kita belajar menerima, memahami, bahkan tumbuh.
Namun saat kita terus-menerus menyalahkan diri, kita menutup kesempatan untuk melihat makna dari perjalanan itu.
Mungkin memang ada hal-hal yang tidak bisa diperbaiki, tapi itu tidak berarti kita tidak boleh berdamai. Berhenti menyalahkan diri bukan berarti membenarkan segalanya.Â
Ini tentang memberi ruang bagi diri sendiri untuk memahami mengapa hal itu terjadi, dan menerima bahwa segala sesuatu punya waktunya untuk beres, termasuk luka yang kita buat sendiri.