Udara pagi di Desa Karangsari biasanya membawa kedamaian. Tapi tidak bagi Surya, bekas kepala desa yang telah mengabdi selama dua periode. Di usia senjanya, saat seharusnya ia bisa menikmati tenangnya hari-hari dengan secangkir kopi dan anak cucu, justru kegelisahanlah yang menjadi teman setianya.
Semua berawal dari bisik-bisik di warung kopi dekat balai desa. Awalnya hanya satu dua orang yang bertanya, "Benarkah Pak Surya itu lulusan SMA?" Lalu berkembang menjadi, "Kok aneh, dulu nggak pernah kelihatan ijazah aslinya ya?" Hingga akhirnya, kalimat itu menjadi vonis yang tak tertulis, tapi diyakini banyak orang: "Ijazahnya palsu."
Surya mendengar semuanya. Ia mencoba menahan diri, menganggap angin lalu. Tapi semakin hari, omongan itu makin nyaring. Bahkan anak-anak muda pun mulai ikut-ikutan mengejek diam-diam ketika berpapasan dengannya. Puncaknya, ada akun media sosial anonim yang memposting foto ijazah SMA-nya, lengkap dengan tanda air buram dan cetakan yang terlihat tidak biasa.
Surya marah. Ia merasa harga dirinya diinjak-injak. Dengan bantuan pengacara dari kota, ia melaporkan beberapa warga yang paling vokal ke polisi atas tuduhan pencemaran nama baik. Namun yang terjadi justru sebaliknya: langkah hukumnya dianggap sebagai upaya menutup-nutupi kebenaran. Desa yang dulu menghormatinya, kini nyaris sepenuhnya membencinya.
"Kalau nggak salah, ngapain takut sama omongan orang?" kata Pak Bakar, mantan hansip, di warung kopi yang sama. Semua mengangguk.
Istrinya, Bu Sarti, mencoba menenangkan, tapi setiap malam Surya makin gelisah. Ia terbangun berkali-kali, kadang dengan keringat dingin. Dalam tidurnya, ia melihat wajah-wajah warga desa, tersenyum sinis, menunjuk ke arahnya sambil berkata, "Bapak bohong... Bapak nggak pernah lulus SMA..."
Makin hari, tubuhnya makin kurus. Ia tak lagi keluar rumah. Tidak ada yang datang menjenguk, kecuali sesekali aparat desa yang membawa surat panggilan untuk mediasi, atau wartawan lokal yang mengendap-endap berharap mendapatkan berita terbaru dari "Kasus Ijazah Kepala Desa."
Yang paling menyakitkan bagi Surya bukanlah cemoohan itu, tapi keyakinan dalam diri orang-orang yang dulu dia pimpin, bahwa dirinya penipu. Ia merasa seluruh masa baktinya terhapus hanya karena selembar kertas yang diragukan.
Akhirnya, pada suatu sore yang mendung, Surya duduk di kursi kayu di teras rumahnya. Tatapannya kosong. Ia menggenggam ijazah lamanya yang mulai menguning, seperti ingin membuktikan pada dirinya sendiri bahwa itu nyata. Tapi kertas itu, entah kenapa, tak lagi terlihat seperti sesuatu yang bisa menyelamatkannya.
Ia berbisik pelan, seolah pada dirinya sendiri, "Kenapa mereka tak bisa percaya... setelah semua yang kulakukan?"