Lihat ke Halaman Asli

Rendinta Delasnov Tarigan

Praktisi Perpajakan

Tentang Bahasa Cinta Receiving Gifts: Saat Sebuah Hadiah Berbicara

Diperbarui: 12 Juni 2025   04:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Love Language Receiving Gifts (sumber: Ai-generated picture)

Dalam setiap lingkaran pertemanan, ada saja orang yang matanya berbinar hanya karena menerima hadiah sederhana—bukan yang mahal, bukan pula sesuatu yang mereka minta. Terkadang cukup selembar kartu buatan tangan, pembatas bunga, atau setangkai bunga. Bagi mereka, benda-benda sederhana itu adalah ungkapan perhatian—dan itu sudah lebih dari cukup untuk membuat harinya terasa hangat. Kita mengenal mereka sebagai orang yang bahasa cintanya receiving gifts. Namun, bahasa cinta ini kerap kali disalahpahami. Banyak yang mengira bahwa mereka “materialistis” atau sekadar suka diberi barang. Padahal, jauh di balik itu, ada sensivitas emosional yang kuat.

Konsep love language sendiri diperkenalkan pertama kali oleh Gary Chapman lewat bukunya The Five Love Languages. Chapman menjelaskan bahwa setiap orang cenderung punya cara dominan dalam memberi dan menerima cinta. Bahasa cinta bukanlah kategori kepribadian yang kaku. Ia lebih mirip “jendela” pengalaman emosional yang terbentuk dari perjalanan hidup, pola asuh, hingga budaya yang melingkupi seseorang. Tidak ada satu pun yang paling baik atau dewasa—yang ada hanyalah perbedaan dalam cara kita merasa dicintai.

Bagi mereka yang bahasa cintanya receiving gifts, hadiah bukan soal harga. Hadiah adalah simbol kehadiran. Lewat pemberian itu, mereka merasa diingat, diperhatikan, dan dicintai. Penelitian Ruth, Otnes, dan Brunel bahkan menemukan bahwa penerimaan hadiah dapat memicu reformulasi hubungan interpersonal—memperkuat kedekatan, memperbarui keintiman, bahkan menciptakan dinamika baru dalam relasi. Artinya, bagi si receiving gifts, setiap hadiah membawa makna emosional yang jauh melampaui benda fisiknya. Ironisnya, justru karena begitu bermakna, mereka juga lebih muda terluka jika momen penting diabaikan atau pemberian terasa asal-asalan. Bagi mereka, bukan soal barang apa yang diberikan, tetapi apakah ada perhatian di baliknya.

Satu hal yang jarang disadari: si penerima hadiah juga biasanya senang memberi hadiah. Ini bukan karena ingin “membalas”, melainkan karena mereka memahami kekuatan emosi yang terkandung dalam sebuah pemberian. Lewat hadiah, mereka mengungkapkan: aku memikirkanmu, aku ingin membuat harimu lebih baik. Dalam banyak relasi, orang dengan bahasa cinta ini justru dikenal sebagai pihak yang paling telaten dalam memilih atau menyiapkan hadiah—bahkan tanpa momen khusus. Sebab bagi mereka, hadiah adalah bahasa tindakan. Studi yang dilakukan Egbert & Polk menguatkan hal ini. Mereka menemukan bahwa kecenderungan gift-giving behavior memang tinggi pada individu yang dominan receiving gifts. Ada dorongan alami untuk mengekspresikan kasih dan perhatian lewat hal-hal yang dapat disentuh dan dikenang.

Ciri khas kelompok orang receiving gifts adalah mereka peka pada detail. Mereka mengingat siapa memberikan apa, kapan, dan dalam konteks apa. Mereka menghargai simbol—kerap menyimpan hadiah sebagai pengingat hubungan. Mereka merasa dihargai ketika seseorang memilihkan atau membuat hadiah dengan personal touch. Hal lain yang menarika adalah mereka juga suka memberi. Mereka menikmati proses mencari atau menyiapkan hadiah untuk orang lain sebagai cara mempererat koneksi. Namun, sisi rapuh kelompok ini: perhatian yang hilang atau hadiah yang terasa “asal” bisa membuat mereka merasa tidak diperhatikan.

Di Indonesia, budaya memberi hadiah sudah lekat dalam banyak tradisi. Magnis-Suseno dalam bukunya mengungkapkan bahwa dalam budaya Jawa, praktik saling memberi hadiah kecil—baik dalam acara sosial maupun dalam keseharian—mencerminkan nilai harmoni sosial dan kepekaan terhadap perasaan orang lain. Nilai serupa juga tercermin dalam berbagai budaya di Indonesia, dimana oleh-oleh usai bepergian, bingkisan lebaran, hantaran pernikahan, hingga tradisi souvenir kecil dalam berbagai perayaan. Semua itu bukan sekadar formalitas. Ia adalah bagian dari cara kita membangun dan memelihara hubungan. Maka, bagi si receiving gifts, budaya semacam ini justru terasa sangat alami. Namun, di era serba instan, penting diingat bahwa bukan besarnya hadiah yang utama, melainkan makna yang dibawanya.

Dalam menjaga relasi dengan mereka, ingatkan akan momen penting dalam hidupnya. Pilih hadiah dengan makna personal. Hadiah kecil nan sederhana, apabila tulus dipersiapkan, dapat lebih berarti daripada hadiah mahal. Berilah pula secara spontan—mereka akan menghargai perhatian itu. Pun bagi seorang receiving gifts, komunikasikanlah hal ini dengan sehat dan terbuka. Belum tentu semua orang mamahami bahasa yang sama. Ajarkan pasangan atau anggota keluarga bahwa perhatian kadang bisa diwujudkan lewat hal-hal sederhana. Karena bagi mereka yang berbahasa cinta receiving gifts, setiap pemberian yang disertai ketulusan adalah pesan tidak terucap: aku peduli, aku hadir, aku mengingatmu. Dan pesan semacam itu, dalam relasi apa pun, selalu layak dirawat.

Pada akhirnya, receiving gifts mengingatkan kita bahwa cinta kadang butuh wujud nyata. Dalam dunia yang serba sibuk, sebuah benda kecil—pembawa makna—dapat menjadi pengikat yang kuat dalam relasi. Lewat hadiah, kita menulis cerita. Lewat perhatian yang tersirat di baliknya, kita menguatkan ikatan.

Hari ini, mari kita perhatikan seseorang yang menunggu isyarat kecil itu. Lewat hadiah sederhana, kita dapat menenun kisah yang akan terus diingat

References:

  • Gary Chapman, 2014, The Five Love Languages: How to Express Heartfelf Commitment to Your Mate, LifeWay Press.
  • Egbert & Polk, Speaking the Language of Relational Maintenance: A Validity Test of Chapman’s (1992) Love Language, Communication Research Reports, 23(1), 2006, 19—26.
  • Julie A. Ruth, Cele C. Otnes, Frederic Francois Brunel, Gift Receipt and the reformulation of interpersonal relationships, Journal of Consumer Research, 25(4), 1999, 385—402.
  • Franz Magnis-Suseno SJ, 1984, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, Jakarta: Gramedia
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline