Mohon tunggu...
nazwaufaa
nazwaufaa Mohon Tunggu... mahasiswa

Mahasiswa yang memiliki hobi menulis.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Program MBG: Telan Biaya Triliunan tapi Banyak Korban Keracunan?

16 Oktober 2025   20:30 Diperbarui: 16 Oktober 2025   20:47 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dalam beberapa bulan terakhir, ratusan siswa di berbagai daerah dilaporkan mereka mengalami keracunan massal akibat mengonsumsi makanan dari program makan bergizi gratis (MBG). Padahal pemerintah telah mengalokasikan dana setidaknya sekitar Rp 71 triliun untuk tahap awal pelaksanaan program MBG ini. Dengan anggaran yang tidak sedikit ini harusnya jutaan siswa di seluruh Indonesia tercukupi kebutuhan gizinya bukan malah jatuh sakit dan keracunan akibat mengonsumsi makanan yang diklaim “bergizi.” Program MBG ini harusnya menjadi solusi atas permasalahan gizi di Indonesia. Namun dari sejumlah kasus keracunan massal yang terjadi di berbagai daerah justru menimbulkan pertanyaan: bagaimana mungkin program yang menelan biaya triliunan justru berubah menjadi ancaman kesehatan bagi masyarakat?

Program makan bergizi gratis (MBG) merupakan program makan siang gratis yang diadakan pada masa pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang bertujuan untuk menghindari malnutrisi atau stunting, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, dan memastikan kebutuhan gizi harian masyarakat dapat tercukupi dengan baik. Program ini menargetkan penerima manfaat yang didistribusikan hingga sekitar 19,47 juta orang mulai dari murid PAUD hingga SMA/SMK serta ibu hamil dan menyusui. Berbagai negara maju telah membuktikan bahwa kebijakan penyediaan makanan bergizi gratis dapat memberikan berbagai manfaat seperti mampu meningkatkan gizi anak, menekan angka stunting, mengurangi beban kelaparan, dan meningkatkan konsentrasi belajar. Namun, jika implementasinya tidak diawasi dengan baik, maka hal ini bisa berubah menjadi permasalahan.

Sayangnya implementasi nyata program makan bergizi gratis (MBG) di lapangan masih belum sepenuhnya terlaksana dengan baik. Sejumlah kasus keracunan yang menimpa ratusan siswa di berbagai daerah menunjukkan adanya kesenjangan antara janji pemerintah dengan praktik di lapangan. Data dari Jakarta Globe menyebutkan bahwa hingga September 2025, lebih dari 6.500 siswa di 75 insiden di seluruh Indonesia mengalami gejala keracunan setelah mengonsumsi MBG. Pemerintah bahkan menutup 40 dapur penyedia (SPPG kitchens) karena terbukti tidak mematuhi protokol kebersihan dan keamanan pangan.

Kasus-kasus tersebut tersebut tersebar di berbagai wilayah: 600 siswa di Kabupaten Bandung Barat, 130 siswa di Kalimantan Selatan, 79 siswa si Cianjur, dan puluhan lainnya di Batang dan Bogor, Jawa Barat. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menyatakan bahwa sebagian besar kasus disebabkan karena pengolahan makanan yang tidak higienis, penggunaan bahan pangan yang tercemar, serta penyimpanan pada suhu yang tidak aman. Sedangkan menurut indentifikasi Badan Gizi Nasional (BGN), sebagian besar kasus ini disebabkan oleh kontaminasi bakteri seperti E. coli, Salmonella, dan Staphylococcus aureus adalah penyebab utama wabah.

Permasalahan ini menunjukkan bahwa pengawasan mutu pangan masih belum menjadi prioritas dalam pengimplementasian program, padahal hal ini merupakan komponen penting dalam upaya keberhasilan kebijakan di bidang gizi. Di berbagai daerah, mekanisme tender cepat yang digunakan untuk mempercepat distribusi justru malah membuka peluang bagi vendor yang kurang ahli dan mengabaikan standar protokol keamanan. Akibatnya, tujuan baik pemerintah untuk meningkatkan kesehatan anak-anak berpotensi menjadi bencana gizi massal jika pengawasan dan kualitas penyedia tidak segera diperbaiki.

Dikutip dari CNN Indonesia menerangkan bahwa pemerintah yakni Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani resmi mengalokasikan anggaran program makan bergizi gratis sebesar Rp71 triliun dalam RAPBN 2025 dan ditargetkan dapat menjangkau puluhan juta siswa di Indonesia, mulai dari tingkat PAUD hingga SMA/SMK serta ibu hamil dan menyusui. Menurut data dari kementrian keuangan, anggaran tersebut berasal dari APBN dan transfer ke daerah, serta melibatkan lebih dari 250.000 dapur penyedia makanan. Dengan nilai sebesar itu, publik berhak menuntut transparasi, akuntabilitas, dan efektivitas dalam setiap rupiah yang digunakan.

Kritik terhadap program MBG seharusnya tidak boleh dimaknai sebagai penolakan terhadap kebijakan tersebut. Justru sebaliknya, kritik menjadi bagian penting terhadap suatu kebijakan agar ada upaya memperbaiki tata kelola dan agar tercapainya tujuan mulia. Pengalaman di sejumlah daerah menunjukkan bahwa program serupa dapat berjalan dengan baik jika terdapat unsur pengawasan dan pengeloalaan pangan yang professional. Misalnya di kabupaten sleman, pemerintah daerah berkerja sama dengan Dinas Kesehatan dan ahli gizi lokal dalam menyusun menu, melalukan uji sampel makanan, dan menyimpan bahan pangan dengan baik. Hasilnya sejak awal peluncuran MBG di wilayah tersebut hingga pertengahan 2025 tidak tercatat satu pun kasus keracunan.

Pendekatan ini sejalan dengan BPOM yang menekankan pentingnya standar higienitas untuk bahan pangan dan pelatihan bagi tenaga dapur sekolah. Menurut laporan, lebih dari 60% kasus keracunan MBG disebabkan oleh pengolahan makanan yang tidak diawasi oleh ahli gizi. Dengan memperkuat hubungan antara pemerintah daerah, sekolah, dapur penyedia, dan masyarakat, risiko ini dapat menekan kasus keracunan secara signifikan.

Langkah-langkah konkret seperti ini dapat membuat program MBG berjalan dengan aman dan efektif. Dengan pengawasan yang kuat dan keterlibatan masyarakat, program MBG berpeluang besar dapat terlaksana dengan baik dan benar-benar bisa menyehatkan bangsa, bukan malah meracuninya.

Pada akhirnya program Makan Bergizi Gratis (MBG) ini adalah program besar yang memiliki niat baik untuk memastikan anak Indonesia tumbuh sehat, cerdas, dan siap bersaing di masa depan. Namun niat baik juga harus diikuti dengan implementasi yang baik dan menerapkan prinsip dasar yaitu keamanan, transparasi, dan tanggung jawab publik.

Pemerintah perlu menjadikan kasus-kasus ini sebagai pembelajaran dan peringatan bahwa sebesar apapun kebijakan tidak akan berhasil tanpa pengawasan yang kuat dan tata kelola yang bersih. Keterlibatan ahli gizi bersertifikat di setiap dapur dan transparasi dana yang dibelanjakan harus menjadi standar baru yang harus dilaksanakan pemerintah. Program MBG seharusnya menjadi kebijkan yang menyehatkan bangsa, bukan sekedar proyek politik yang memakan banyak korban.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun