Refleksi Seorang Psikiater tentang Kecemasan, Ketahanan Mental, dan Harapan di Masa Krisis
oleh: dr. Andri,SpKJ,FAPM
Setiap tanggal 10 Oktober, dunia kembali diingatkan tentang pentingnya kesehatan jiwa. Tahun 2025 ini, tema yang diangkat oleh World Federation for Mental Health (WFMH) adalah:
"Access to Services: Mental Health in Catastrophes and Emergencies."
Tema tersebut menggugah kita untuk merenung: di tengah berbagai bencana, perang, pandemi, dan tekanan hidup modern, bagaimana nasib kesehatan jiwa manusia yang sering kali tak terlihat?
Sebagai psikiater, saya sering menyaksikan bagaimana ketakutan dan ketidakpastian dapat mengubah cara tubuh berbicara. Banyak pasien datang dengan keluhan fisik -- dada berdebar, kepala terasa berat, sulit tidur, atau perut melilit -- padahal semua pemeriksaan medis menunjukkan hasil normal. Itulah bahasa lain dari pikiran yang lelah dan hati yang cemas.
Cemas Itu Manusiawi, Tapi Tak Selalu Harus Menguasai
Kita hidup di zaman yang penuh ketidakpastian. Berita tentang bencana, perang, dan krisis global datang silih berganti. Dalam konteks ini, rasa cemas bukanlah tanda kelemahan, tetapi reaksi alami tubuh saat berhadapan dengan ancaman.
Namun, bila kecemasan berlangsung terus-menerus tanpa diolah, ia berubah menjadi beban kronis yang bisa menurunkan daya tahan tubuh dan kualitas hidup. WHO (2025) mencatat, satu dari lima orang yang terdampak bencana atau konflik akan mengalami gangguan mental serius, sementara sebagian besar lainnya mengalami gejala stres yang mengganggu keseharian.
Sebagian pasien bahkan tidak menyadari bahwa gangguan psikosomatik mereka berasal dari tekanan emosional. Mereka berpindah dari satu dokter ke dokter lain, tanpa menemukan jawaban yang menenangkan.