Ketika Presiden Donald Trump memerintahkan serangan ke tiga situs nuklir Iran pada 21 Juni 2025 tanpa berkonsultasi dengan Kongres, ledakan politik langsung terjadi di Washington. Bukan hanya karena misil-misil AS menghantam Fordow---salah satu fasilitas nuklir paling dijaga Iran---tetapi karena serangan itu dilakukan tanpa izin legislasi, melanggar norma konstitusional, dan dikhawatirkan bisa memicu perang terbuka.
Serangan Mendadak, Tanpa Izin
Trump memerintahkan serangan udara menggunakan bom penghancur bunker seberat 30.000 pon. Target: pusat nuklir Iran yang diduga tengah mempercepat pengayaan uranium. Alasan resminya: "ancaman langsung terhadap kepentingan AS dan sekutunya di kawasan." Tapi Kongres menyatakan tidak pernah menerima bukti adanya ancaman "imminent" yang sah.
Dan yang lebih gawat: tidak ada konsultasi dengan Dewan Keamanan PBB, apalagi Kongres AS.
Kongres Meradang
Gedung Capitol langsung panas. Pemimpin Demokrat seperti Hakeem Jeffries dan AOC menyebut tindakan ini sebagai "penghinaan terhadap Konstitusi", sementara Ro Khanna menyebutnya sebagai "pemicu krisis pemerintahan."
Di sisi lain, Republikan moderat seperti Thomas Massie dan Rand Paul juga mengkritik keras langkah Trump. Mereka menyebutnya "gila", "tidak bertanggung jawab", dan menyerukan penyelidikan formal. Bahkan muncul wacana untuk memperketat War Powers Act agar presiden tidak bisa lagi "main serang" tanpa rem legislatif.
Hukum yang Diabaikan?
Menurut Konstitusi AS, hanya Kongres yang memiliki kewenangan menyatakan perang. Serangan ke Iran tanpa bukti ancaman langsung dinilai melanggar War Powers Resolution 1973, yang mengharuskan presiden melapor dalam 48 jam dan memperoleh persetujuan Kongres dalam 60 hari.
Trump berdalih bahwa ia bertindak berdasarkan wewenang sebagai Commander-in-Chief, tapi banyak pengamat hukum menyebut alasan itu tidak berdasar, terutama bila menyangkut penyerangan ke negara berdaulat.