Dilema Negara: Menyelamatkan Industri atau Generasi dari Rokok?
"Kebijakan tanpa keberanian moral hanya akan menjadi angka yang kering, sementara rakyat terus menanggung asapnya."
Oleh Karnita
Papan Bunga untuk Menkeu: Simbol Kritik dari Generasi Muda
Apakah papan bunga hanya sekadar ornamen perayaan, atau bisa menjadi tanda protes yang lantang? Pertanyaan ini menyeruak setelah Kompas.com (30/9/2025) memberitakan aksi ratusan pemuda dari Indonesian Youth Council for Tactical Changes (IYCTC) mengirim papan bunga ke Kementerian Keuangan. Aksi itu muncul sebagai bentuk kekecewaan atas keputusan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa membatalkan rencana kenaikan cukai rokok 2026.
Mengapa kebijakan yang tampak teknis ini menjadi sorotan publik? Rokok telah lama menjadi isu krusial karena dampaknya terhadap kesehatan, sosial, dan ekonomi bangsa. Penulis tertarik menyoroti berita ini karena kebijakan fiskal sejatinya bukan sekadar angka, melainkan cermin keberpihakan negara kepada rakyat.
Bukankah ironi ketika suara industri lebih didengar daripada jeritan masyarakat yang menanggung beban penyakit? Di tengah tingginya angka perokok remaja, keputusan untuk tidak menaikkan cukai rokok justru memperpanjang masalah. Inilah yang membuat protes papan bunga terasa bukan sekadar simbol, melainkan suara generasi yang menuntut keberanian moral.
Industri Rokok dan Kebijakan yang Tersandera
Industri rokok kerap dianggap sebagai penyumbang devisa sekaligus penyerap tenaga kerja. Namun, narasi ini sering dipakai untuk menekan kebijakan kenaikan cukai. Keputusan Menkeu Purbaya yang mengikuti suara industri memperlihatkan bagaimana negara bisa tersandera kepentingan bisnis.
Kritiknya jelas: kesehatan masyarakat seolah menjadi prioritas kedua. Padahal, data BPJS Kesehatan menunjukkan Rp 15,6 triliun dikeluarkan hanya untuk menanggung penyakit akibat rokok pada 2019. Refleksinya, beranikah negara memutuskan secara tegas bahwa kesehatan publik lebih penting daripada kalkulasi ekonomi jangka pendek?