Lihat ke Halaman Asli

Agung Pramono

Advokat, Pemerhati Hukum dan Sosial

Kecerdasan DiNA (Digital Native Advocate)

Diperbarui: 12 Juni 2022   19:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Polemik Dan Penerapan Kecerdasan Buatan

Pada era industry v4.0 atau society 5.0 ini melahirkan suatu polemik di dunia Advokat, dalam konteks efektivitasnya secara fisik, banyak yang dianggap sudah tidak diperlukan lagi, tidak menarik karena jasa Advokat sudah terpenuhi dan terwakili oleh perangkat artificial intelligence (kecerdasan buatan).

Sistem hukum dunia mulai mengadakan integrasi dan makin konsisten menggeneralisir, menyeragamkan asas-asas hingga model normatifnya, dengan alasan untuk memudahkan interaksi demi kesepahaman penanganan perkara lintas yurisdiksi, dilematika yang muncul adalah skenario untuk dinyatakan akan banyak yang dikorbankan, terutama karakter.

Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi telah menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi informasi, bahkan melalui Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan secara Elektronik, kini jawab-jinawab, pemeriksaan bukti dan saksi hingga pembacaan putusan sudah bisa dilakukan secara online melalui teleconference.

Sebenarnya teknologi AI ini disinggung pada sidang Mahkamah Konstitusi dalam Perkara Nomor 01/PHPU-PRES/XVII/2019 perihal Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden Tahun 2019, hal yang diangkat sebagai permasalahan krusial oleh TM Luthfi Yazid dan Denny Indrayana.

Profesi Advokat, dalam hal identifikasi dan dokumentasi sedang dikembangkan e-Lawyer oleh Kongres Advokat Indonesia dibawah pimpinan Tjoetjoe Sandjaja Hernanto, yang sedang dalam proses untuk kerjasama integrasi dengan Mahkamah Agung, juga catatan sipil, pajak dan perbankan. 

Dengan kajian ilmiah mengenai disrupsi dan teknologi AI yang dibahas oleh advokat senior TM. Luthfi Yazid, berbeda dengan inovasi bisnis maka advokat harus membangun budaya beralas hukum, bukan hanya budaya tekno saja tapi juga kemampuan untuk menggunakan perangkat teknologi di era industri 4.0 ini.

Kecerdasan Buatan Tergantung Input Data

Kecerdasan Buatan bergantung pada kumpulan data yang akan diubah dalam bentuk digital atau yang diperlukan untuk keperluan pembacaan oleh program AI.

Indonesia sendiri masih mempunyai kelemahan dalam pemanfaatan teknologi artificial intelligence ini, terutama mengenai input data, banyaknya tumpang tindih antar regulasi, tidak ada sinergitas dan tidak ada keterkaitan, jadi kalaupun sudah dikembangkan di Indonesia maka input data atau resultan/hasil yang diperoleh mestilah tidak optimal.

Dalam wilayah siber dikenal istilah smart-contract (kontrak pintar) dalam sebuah blockchain yang merupakan sistem pengarsipan untuk informasi digital, yang menyimpan data dalam format buku besar terenkripsi dan terdistribusi, yang berarti diperlukan kesepakatan atau minimal suatu kesediaan untuk menerima konsekuensi dari hasil penggunaan sarana AI.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline