Lihat ke Halaman Asli

Parlin Pakpahan

TERVERIFIKASI

Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Dari Rasionalitas ke Retorika : Ekonomi Indonesia di Persimpangan

Diperbarui: 30 September 2025   17:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Indonesia dalam tatanan kekacauan. Sumber : indoprogress.com.

Dari Rasionalitas ke Retorika : Ekonomi Indonesia di Persimpangan

Sejarah ekonomi Indonesia mencatat pergeseran mendasar dalam cara negara ini mengelola perekonomian. Pada era Orde Baru, terutama sejak dekade 1970-an, kebijakan ekonomi dijalankan dengan disiplin teknokratis di bawah kepemimpinan Widjojo Nitisastro dan tim ekonom Universitas Indonesia. Rasionalitas ekonomi menjadi panglima. Setiap keputusan strategis ditimbang melalui kalkulasi biaya-manfaat, cost-effectiveness, serta analisis teknis yang relatif steril dari nuansa politis. Hasilnya, meskipun terdapat masalah serius pada aspek demokrasi dan HAM, stabilitas makroekonomi relatif terjaga, inflasi terkendali, dan Indonesia menjadi negara berkembang dengan pertumbuhan yang cukup impresif.

Namun, di era demokrasi kontemporer, lanskap itu berubah drastis. Rasionalitas ekonomi yang dingin dan kaku tidak lagi menjual. Dalam kompetisi elektoral yang ketat, kebijakan publik kini hadir dalam bentuk narasi, slogan, dan storytelling. Hilirisasi, kedaulatan pangan, ekonomi kerakyatan, revolusi industri 4.0, hingga green economy - semuanya dipasarkan bukan sebagai kalkulasi teknokratis, melainkan sebagai imajinasi kolektif yang menggerakkan hati dan pikiran publik. Ekonomi semakin dekat dengan retorika politik.

Era Teknokrat : Rasionalitas sebagai Panglima

Para teknokrat Orde Baru - sering dijuluki "Mafia Berkeley" - berpegang pada prinsip bahwa kebijakan ekonomi harus berbasis pada angka, analisis, dan disiplin fiskal. Widjojo Nitisastro menegaskan, "Stabilitas merupakan syarat mutlak untuk pertumbuhan. Tanpa stabilitas, semua rencana tinggal di atas kertas" (Nitisastro, Ekonomi Indonesia di Masa Orde Baru, 1983).

Kebijakan industrialisasi, pembangunan infrastruktur dasar, serta pengendalian harga kebutuhan pokok dilakukan dengan cermat. Tidak ada narasi bombastis seperti "Indonesia Emas" atau "Revolusi 4.0." Semua digerakkan oleh dokumen rencana pembangunan lima tahun (Repelita) yang ketat dan terukur. Rasionalitas ekonomi kala itu memang kerap dituding terlalu elitis dan abai terhadap distribusi kesejahteraan. Namun, disiplin kebijakan memberi kepastian bagi pelaku usaha dan investor.

Demokrasi dan Kebangkitan Retorika Ekonomi

Memasuki era reformasi, dengan kompetisi politik yang semakin terbuka, logika teknokratik mulai bergeser. Politisi menyadari masyarakat pemilih tidak dapat digerakkan hanya dengan angka pertumbuhan atau tabel defisit fiskal. Publik lebih mudah disentuh dengan narasi besar yang membangkitkan optimisme kolektif.

Era Presiden Joko Widodo menandai akselerasi retorika ini. Kata-kata seperti hilirisasi dan ekonomi kerakyatan menjadi mantra pembangunan. Dalam pidato kenegaraannya di DPR tahun 2019, Jokowi menegaskan: "Kita harus menjadikan hilirisasi industri sebagai kunci agar sumberdaya alam kita memberikan nilai tambah besar bagi bangsa" (Sekretariat Presiden RI, 16 Agustus 2019).

Namun, di lapangan banyak kontradiksi. Larangan ekspor bijih nikel memang mendorong pembangunan smelter, tetapi juga menimbulkan gugatan internasional di WTO dan ketergantungan pada investor asing, khususnya dari China. Narasi ekonomi kemudian bergeser menjadi alat komunikasi politik. Storytelling menggantikan tabel statistik.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline