Di bawah Presiden Prabowo, pola ini tidak hanya berlanjut, tetapi menjadi lebih galak. Dalam pidato kemenangannya 2024, ia berkata: "Visi kita adalah Indonesia Emas 2045. Kuncinya persatuan, stabilitas, dan pembangunan sumberdaya manusia" (CNN Indonesia, 20 Pebruari 2024). Optimisme masa depan dikemas dalam retorika besar yang seolah-olah mampu menyelesaikan masalah struktural hanya dengan persatuan dan stabilitas. Rasionalitas ekonomi dipinggirkan.
Retorika Kesehatan dan SDM
Salah satu contoh nyata adalah dalam isu pembangunan sumberdaya manusia. Pemerintah menyampaikan narasi bahwa Indonesia Emas 2045 hanya dapat tercapai bila kita memiliki SDM unggul. Ratio dokter terhadap penduduk menjadi simbol keseriusan.
Namun, wacana ini kerap berhenti pada slogan. Rasionalitas teknokratis seharusnya menghitung kebutuhan riil, kapasitas pendidikan kedokteran, distribusi tenaga medis dan alokasi anggaran yang realistis. Sebaliknya, retorika kesehatan sering dikemas dalam bentuk pidato dan target besar tanpa roadmap yang rinci. Publik terbuai, tetapi masalah struktural tetap membelenggu.
UMKM dalam Bayang-Bayang Narasi
Sektor UMKM sering dijadikan objek retorika ekonomi. Hampir setiap rezim politik menekankan pentingnya UMKM sebagai tulang punggung perekonomian nasional. Jokowi, misalnya, pernah menyatakan : "UMKM adalah tulang punggung ekonomi kita, mereka harus naik kelas dan go digital" (Kompas, 12 Oktober 2020).
Namun realitas di lapangan jauh lebih kompleks. Akses UMKM ke permodalan murah masih sangat terbatas. Persyaratan pinjaman perbankan sering memberatkan, sementara platform teknologi besar justru mempersempit margin keuntungan para pedagang kecil. Rasionalitas ekonomi menuntut pembenahan ekosistem pembiayaan dan regulasi persaingan. Sayangnya, yang lebih banyak terdengar hanyalah seruan untuk "naik kelas," tanpa solusi struktural nyata.
Pertahanan : Antara Retorika Kemandirian dan Ketergantungan
Fenomena serupa terjadi di sektor pertahanan. Indonesia kerap mengumandangkan narasi kemandirian alutsista. PT Pindad memproduksi senjata ringan, panser Anoa, dan kendaraan tempur lainnya. Retorika kemandirian industri pertahanan sering muncul dalam forum publik.
Namun, kenyataan menunjukkan kita tetap bergantung pada impor senjata strategis. Pembelian jet tempur Rafale dari Perancis dan Kaan dari Turki menjadi bukti. Prabowo bahkan menegaskan dalam kunjungannya ke Paris : "Kita butuh alutsista modern untuk menjaga kedaulatan, tidak ada kompromi dalam pertahanan negara" (Le Monde, 10 Juni 2022).
Retorika kedaulatan industri pertahanan berakhir dengan ketergantungan pada pemasok asing. Rasionalitas ekonomi akan menanyakan: berapa biaya operasional jangka panjang, apakah ada transfer teknologi yang nyata, dan seberapa efektif produk impor ini terhadap kebutuhan pertahanan kita. Sayangnya, pertanyaan rasional sering tenggelam dalam retorika kemandirian.