Lihat ke Halaman Asli

Parlin Pakpahan

TERVERIFIKASI

Saya seorang pensiunan pemerintah yang masih aktif membaca dan menulis.

Seni Pertunjukan Indonesia : Mencari Arah di Tengah Galau Sosial Ekonomi

Diperbarui: 25 Juni 2025   19:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebuah cuplikan dari Drama Majapahit. (Sumber : times.co.id).

Seni Pertunjukan Indonesia : Mencari Arah di Tengah Galau Sosial Ekonomi

Seni pertunjukan merupakan salah satu pilar penting dalam membangun identitas budaya sebuah bangsa. Di Indonesia, seni pertunjukan memiliki sejarah panjang yang kaya, mulai dari seni tradisi seperti wayang kulit, tari topeng, ketoprak, hingga seni modern seperti teater kontemporer dan musik populer. Namun, di tengah perkembangan zaman, globalisasi, dan modernisasi, kita menghadapi kenyataan pahit : perkembangan seni pertunjukan Indonesia, khususnya yang bersifat teaterikal dan musikal, terasa stagnan, bahkan cenderung kehilangan arah.

Jika kita membaca media massa, liputan mengenai seni pertunjukan seolah tertelan dominasi pemberitaan dunia perfilman, musik populer, dan hiburan yang lebih menjual secara komersial. Isu yang menyentuh seni pertunjukan pun kerap hanya muncul jika ada polemik, seperti yang terjadi pada persoalan hak cipta dalam musik.

Polemik Hak Cipta dan Solidaritas yang Rapuh

Polemik mengenai hak cipta lagu baru-baru ini sempat mengemuka di ruang publik. Perdebatan dipicu oleh pernyataan salah satu musisi ternama, Achmad Dhani, yang menegaskan pentingnya izin resmi bagi siapa pun yang ingin membawakan karya ciptaannya. Sebaliknya, sebagian artis seperti Agnes Mo, Judika, atau Ariel Noah menilai bahwa musik adalah karya seni yang idealnya bisa dibawakan siapa saja sebagai bentuk apresiasi.

Polemik ini sebetulnya bukan hal baru. Undang-undang Hak Cipta sudah lama ada sebagai payung hukum, namun penerapannya seringkali tidak tegas. Di satu sisi, ada musisi yang menuntut perlindungan karya secara mutlak. Di sisi lain, budaya gotong-royong seni kita kadang mengaburkan batas antara apresiasi dan pelanggaran. Celakanya, para musisi kita jarang bersatu dalam himpunan profesional yang solid. Setiap artis atau pencipta berjalan sendiri-sendiri, tanpa visi kolektif untuk membangun ekosistem seni yang sehat.

Di negara lain, himpunan profesi seperti ASCAP di Amerika Serikat atau JASRAC di Jepang bekerja secara kolektif dan efektif. Sementara di Indonesia, lembaga serupa seperti WAMI atau KCI masih menghadapi tantangan internal dan eksternal untuk benar-benar mewujudkan tata kelola hak cipta yang adil dan berpihak pada pencipta dan performer.

Java Jazz Festival : Simbol Kebingungan Arah

Kita patut mengapresiasi keberadaan Java Jazz Festival (JJF) yang selama lebih dari 20 tahun konsisten menghadirkan musisi jazz dari dalam dan luar negeri. Namun, kita juga harus jujur bahwa JJF belum berhasil memberikan arah perkembangan jazz Indonesia yang kokoh. Festival ini lebih terasa sebagai ajang tontonan sesaat, tanpa mendorong regenerasi musisi jazz atau membangun ekosistem jazz yang kuat di tanah air.

Bandingkan dengan Montreux Jazz Festival di Swiss atau Newport Jazz Festival di AS, yang bukan hanya festival tetapi juga menjadi pusat pendidikan, workshop, dan regenerasi musisi. JJF masih belum mampu menjembatani dunia pendidikan musik dengan panggung profesional secara berkelanjutan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline