"Di Balik Senyum Terakhir: Anak Bungsu Perempuan dan Harapan Keluarga"
Dalam struktur keluarga tradisional di Indonesia, anak bungsu perempuan kerap dipandang sebagai si kecil yang penuh kasih sayang, namun sering pula menjadi tempat terakhir bergantungnya harapan orang tua. Ketika kakak-kakaknya sudah memiliki kehidupan masing-masing, anak bungsulah yang masih tinggal di rumah, mengurus ayah dan ibu yang mulai renta.
Peran ini tidak tertulis, tidak diminta secara eksplisit, namun dijalani dengan diam dan penuh pengorbanan. Anak bungsu perempuan dianggap sebagai sosok yang lembut, penyabar, dan "paling dekat" dengan orang tua. Hal ini membuat banyak orang tua menggantungkan harapan padanya, mulai dari urusan rumah tangga hingga pendampingan di masa tua.
Tekanan datang tidak hanya dari ekspektasi orang tua, tetapi juga dari masyarakat sekitar. Sering terdengar kalimat seperti "Namanya juga anak perempuan terakhir, pasti yang jagain orang tua" yang secara tidak langsung memperkuat beban moral dan sosial bagi si bungsu. Tanpa disadari, ia menjadi pusat tumpuan, tetapi juga sasaran tuntutan.
Di tengah perannya sebagai penjaga rumah, banyak anak bungsu perempuan yang harus mengesampingkan impian mereka sendiri. Ingin kuliah jauh? "Siapa yang jagain rumah?" Ingin menikah? "Kalau kamu pergi, orang tua siapa yang rawat?" Kalimat-kalimat semacam ini menghantui banyak keputusan penting dalam hidup mereka.
Akibatnya, tekanan emosional sering kali menumpuk: rasa bersalah ketika ingin mandiri, rasa lelah karena tanggung jawab tanpa jeda, dan perasaan terisolasi dari lingkungan sosial. Semua ini dapat berdampak pada kesehatan mental jika tidak diimbangi dengan ruang ekspresi dan dukungan yang cukup.
Namun, tidak sedikit anak bungsu perempuan yang mampu mengubah tekanan ini menjadi kekuatan. Mereka tumbuh menjadi perempuan yang kuat, penuh empati, serta punya kemampuan multitasking yang tinggi. Dengan bekal tanggung jawab yang besar sejak muda, banyak dari mereka menjadi pemimpin dalam lingkungannya.
Salah satu contoh nyata muncul dari kisah Fitria (nama samaran) dari Tanjung Jabung Barat, yang sejak usia 19 tahun sudah merawat ibunya yang lumpuh sambil membuka usaha kecil-kecilan. Kisah seperti Fitria tidak langka di masyarakat kita, namun jarang mendapatkan apresiasi yang layak.
Masyarakat perlu memberi ruang bagi anak bungsu perempuan untuk memiliki hidup dan pilihan sendiri. Jika mereka memilih tetap di rumah, itu harus menjadi keputusan sukarela, bukan tekanan. Jika mereka ingin keluar dan berkeluarga, keluarga perlu mendukung dan mencari solusi bersama, bukan melabeli mereka sebagai "anak durhaka".
Pemerintah dan lembaga masyarakat juga bisa berperan, misalnya dengan memberikan program pelatihan kewirausahaan atau bantuan psikososial bagi perempuan muda yang menjadi caregiver keluarga. Peran mereka sangat vital namun luput dari perhatian kebijakan.