Lihat ke Halaman Asli

Negeri 1001 Impor

Diperbarui: 13 November 2016   00:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Negeri 1001 impor. Mungkin ini istilah yang ‘lebay’, atau melebihi takaran. Tapi rasa cinta itu memang harus dinyatakan, jadi harus lebay. Karena tulisan ini memang demi rasa cinta pada negeri kita. Rasa cinta yang sudah tak ada dalam dada-dada para penguasa. Dimana nyata-nyata mereka telah menyerahkan hati dan akalnya untuk menghamba pada pengusaha. Tatkala tangan-tangan durjananya mengemis kepada para pemilik modal, swasta dalam negeri maupun luar negeri (asing).

Lihatlah, betapa sampai hati pemerintah mengeluarkan izin impor cangkul. Tidak cukupkah impor-impor yang lain? Beras, gula, kentang, bawang merah, bawang putih, ikan kembung, garam, wortel, daging, buah-buahan. Belum lagi dengan bahan-bahan kelengkapan pertanian seperti pupuk, obat-obatan tanaman pangan, obat-obatan penyakit hewan, dan kawan-kawan. Itu produk impor yang bisa tercatat.

Jujur, publik sangat terhentak dengan kabar impor cangkul. Salah satu alsintan yang cukup asasi bagi petani. Alat yang sebenarnya di dalam negeri juga bisa diproduksi, yang menurut Kementerian Perindustrian produksinya melalui industri kecil dan menengah (IKM). Masuk akal, asal pemerintahnya bersedia mengakomodasi secara berkesinambungan.

Selain cangkul, masih lebih banyak lagi produk selain hasil pertanian yang diimpor yang mungkin tidak sempat kita catat. Coba saja sebutkan, peniti, gunting, pulpen, alat makan, mainan anak-anak, ponsel pintar, kereta commuter line, bis transjakarta, dan entah apa lagi yang lain. Yah, akhirnya maklum jika memang salah satu julukan negeri ini bertambah, yakni negeri 1001 impor.

Betapa instan pola pikir dan tata kelola pertanian negeri agraris kita ini. Selama bisa beli, mengapa harus produksi sendiri? Benar-benar paradigma yang menyesatkan.

Tengoklah, pada saat yang sama, Freeport makin mulus merampok emas di Papua, Newmont makin lancar menambang di Nusa Tenggara, Exxon Mobile makin asyik menyedot minyak di Cepu, Chevron makin ganas menggerogoti bumi Sumatera dan Kalimantan. Blok Mahakam, blok Masela, semua untuk siapa sekarang? Juga para pengembang yang makin melenggang dengan pulau garapan reklamasi, ditambah bisnis properti mewah dan adikarya di ibukota.

Abraham Samad ketika masih menjadi Ketua KPK pernah mengungkap data, ada Rp 7.200 triliun potensi pendapatan negara yang hilang setiap tahun. Menurutnya, dari 45 blok minyak dan gas saat ini, sebanyak 70% dikuasai oleh asing. Parahnya, banyak pengusaha tambang di Indonesia yang tak membayar pajak dan royalti kepada negara. Ia juga mengatakan, jika ditotal, maka pajak dan royalti yang dibayarkan dari blok migas, batu bara, dan nikel pada setiap tahunnya dapat mencapai Rp 20.000 triliun. Jika pendapatan tersebut dibagi ke seluruh rakyat, maka pendapatan rakyat Indonesia per bulan bisa mencapai Rp 20 juta.

Jadi, apakah negara seperti ini layak disebut miskin sumberdaya? Miskin visi tepatnya. Ya tidak heran.

Di satu sisi, negara fokus cari uang di tengah defisitnya APBN. Target penerimaan yang dicanangkan sangat ambisius. Dalam APBN 2016, pemerintah menargetkan pendapatan sebesar Rp 1.822,5 triliun. Target ini bersumber dari penerimaan perpajakan sebesar Rp 1.546,7 triliun dan PNBP sebesar Rp 273,8 triliun. Pengalaman tahun lalu, penerimaan dari pajak meleset. Dari target Rp 1.294,25 triliun, hanya tercapai Rp 1.055 triliun (81,5% dari target). Dan akhirnya, muncullah kebijakan Tax Amnesty sebagai solusi kepanikan negara. Karena, salah satu jalan mendapatkan pundi-pundi uang adalah menggaet para konglomerat hitam yang sering memarkir hartanya di luar negeri, agar hartanya ditarik ke dalam negeri.

Sementara di sisi lain, ada segerombolan perusahan multinasional yang dengan enaknya menguras isi perut ibu pertiwi. Sangat kontradiktif.

Atas legalisasi dari siapa para pemodal itu, yang mereka dengan pongah menjarah tanah-tanah yang sebenarnya bisa dikelola oleh negara, untuk rakyat? Legalisasi tersebut jelas-jelas tidak berpihak pada penduduk asli yang bertumpah darah di tanah air ini. Kalau sudah begitu, rakyat bisa apa?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline