Disusun oleh:
Nida Yuarein (255231092)
Novia Azzara (255231167)
I. Pendahuluan
Pesatnya perkembangan teknologi informasi telah membawa mahasiswa khususnya Generasi Z ke dalam ekosistem digital yang didominasi oleh media sosial. Infrastruktur ini, meskipun memfasilitasi akses akademik dan komunikasi, turut melahirkan fenomena psikologis yang disebut Fear of Missing Out (FOMO). FOMO didefinisikan secara fundamental oleh Przybylski et al. (2013) sebagai kecemasan yang muncul dari keyakinan bahwa orang lain mungkin mengalami pengalaman yang memuaskan dan bermanfaat, dan individu tersebut tidak hadir. Di tengah "banjir informasi" yang masif di media sosial, FOMO bukan lagi sekadar tren, melainkan kondisi yang signifikan memoderasi perilaku dan produktivitas mahasiswa. Esai ini akan menganalisis dampak negatif esensial dari FOMO terhadap produktivitas akademik mahasiswa, dengan meninjau aspek gangguan fokus, penurunan kesejahteraan mental, serta menawarkan implikasi praktis berupa solusi manajemen diri.
Mahasiswa dihadapkan pada disrupsi digital, di mana media sosial (seperti TikTok dan Instagram) menjadi sumber utama informasi dan interaksi sosial. Kondisi ini secara intens memicu Fear of Missing Out (FOMO), sebuah konstruk psikologis yang diartikan sebagai kecemasan untuk kehilangan pengalaman berharga yang dialami orang lain. Mengingat sebagian besar mahasiswa termasuk dalam Generasi Z, yang cenderung memiliki ketergantungan tinggi pada gawai, fenomena FOMO telah bertransformasi menjadi masalah produktivitas dan kesejahteraan mental yang mendesak. Esai ini bertujuan menganalisis bagaimana FOMO, yang diperburuk oleh hiperkonektivitas, secara signifikan menurunkan produktivitas mahasiswa, dengan dukungan temuan-temuan terbaru dari tahun 2024 dan 2025.
II. Korelasi Negatif FOMO dan Kinerja Akademik
Kecenderungan FOMO memiliki korelasi yang kuat dengan meningkatnya intensitas dan durasi penggunaan media sosial, yang secara langsung mengancam produktivitas belajar. Studi menunjukkan adanya hubungan positif antara FOMO dengan durasi akses media sosial yang tinggi, bahkan melebihi lima jam per hari (Setiadi & Agus, 2020). Pengecekan gawai yang berlebihan, yang dipicu oleh rasa khawatir akan "ketinggalan" update atau tren (misalnya, berita viral, event kampus, atau gosip), secara inheren menciptakan kondisi cyberloafing yang tidak disengaja.
Secara akademis, dampak ini diwujudkan melalui dua cara: gangguan atensi dan prokrastinasi. Ketika mahasiswa disibukkan dengan kekhawatiran untuk terus terhubung, terjadi hilangnya waktu yang seharusnya digunakan untuk fokus pada tugas. Przybylski et al. (2013) mencatat bahwa individu dengan level FOMO yang tinggi cenderung lebih mudah terdistraksi saat belajar. Dalam konteks tugas akhir seperti skripsi, perilaku FOMO dilaporkan berdampak negatif berupa skripsi yang terbengkalai dan kelulusan yang tertunda karena hilangnya kemampuan berkonsentrasi pada tugas jangka panjang (Hariyanti, 2020). Oleh karena itu, FOMO bertindak sebagai mekanisme penghambat yang merusak perencanaan pembelajaran dan kinerja akademik.
Penelitian terbaru memperkuat korelasi negatif antara FOMO dan produktivitas akademik mahasiswa. Jurnal-jurnal yang terbit pada tahun 2024 menunjukkan bahwa FOMO memengaruhi perilaku mahasiswa melalui indikator utama: peningkatan durasi penggunaan media sosial dan gangguan pada aktivitas belajar (Rosjayani et al., 2024).
Salah satu studi terbaru, yang terindeks untuk tahun 2025 (Pujiastuti et al., 2025), menguraikan bahwa dampak FOMO meluas pada gangguan pola tidur dan penurunan performa akademik. Hal ini terjadi karena mahasiswa cenderung terus-menerus memantau aktivitas daring, yang menggeser waktu belajar mereka dan memicu prokrastinasi. Lebih lanjut, penelitian mengenai mahasiswa Magister Psikologi pada tahun 2024/2025 menemukan bahwa meskipun sebagian besar berada pada tingkat FOMO sedang, dorongan untuk terus terhubung dengan tren seperti yang dominan di platform TikTok mengakibatkan individu stres, kecanduan informasi, dan akhirnya mengurangi fokus kerja (Innovative, 2024).
III. FOMO dan Kerentanan Kesejahteraan Subjektif
Dampak paling merusak dari FOMO adalah erosi terhadap kesejahteraan mental, yang merupakan prasyarat penting bagi produktivitas yang stabil. Kecenderungan FOMO yang tinggi menunjukkan adanya hubungan negatif yang kuat dan signifikan terhadap kepuasan hidup (life satisfaction) pada Generasi Z (Journal Untar, 2025). Artinya, semakin tinggi FOMO yang dialami, semakin rendah tingkat kepuasan hidup partisipan.
Kondisi ini diperparah oleh tekanan perbandingan sosial, di mana mahasiswa terus-menerus mengukur nilai diri mereka berdasarkan sorotan kehidupan orang lain. Studi terbaru menunjukkan bahwa rendahnya self-esteem dapat memperburuk kecenderungan FOMO (Fitri, Hariyono, & Arpandy, 2024). Selain itu, fenomena FOMO telah berevolusi menjadi faktor pendorong perilaku konsumtif. Penelitian yang berfokus pada Generasi Z pada tahun 2025 menemukan bahwa FOMO dimanfaatkan oleh konten media sosial untuk meningkatkan konsumerisme dan pembelian impulsif, terutama untuk barang-barang yang sedang viral (Putra & Hayati, 2025). Beban finansial dan psikologis akibat dorongan konsumtif ini semakin menjauhkan mahasiswa dari fokus pada prioritas akademik dan pengembangan diri yang terencana.
IV. Solusi Akademis: Regulasi Diri sebagai Penyangga
Mengingat dampak FOMO yang multidimensional, solusi harus berpusat pada penguatan resiliensi internal mahasiswa. Jurnal-jurnal terbaru menyoroti pentingnya regulasi diri (self-control) sebagai faktor mitigasi.
Penelitian oleh Tiara dan Abdillah (2024) secara spesifik menunjukkan bahwa individu dengan kemampuan regulasi diri yang baik mampu mengelola tekanan sosial dari media sosial secara lebih efektif, sehingga risiko FOMO berkurang. Regulasi diri memungkinkan mahasiswa untuk membuat keputusan yang didasarkan pada tujuan jangka panjang (akademik dan karir) daripada dorongan emosional sesaat yang dipicu oleh FOMO. Strategi praktis yang direkomendasikan para akademisi meliputi:
Digital Detox dan Batasan Tegas: Menetapkan zona waktu dan ruang bebas gawai secara konsisten.
Mempraktikkan Joy of Missing Out (JoMO): Mengubah kerangka berpikir dari kecemasan menjadi kepuasan. JoMO adalah kesadaran untuk menikmati momen saat ini dan menghargai keputusan untuk tidak selalu terhubung. Taswiyah (2022) menyarankan bahwa fokus pada subjective well-being dan JoMO dapat menjadi antitesis terhadap FOMO.
Refleksi Kritis Media Sosial: Mahasiswa harus didorong untuk menyadari bahwa FOMO didasarkan pada ilusi (misinformation), di mana yang diposting adalah versi kehidupan yang telah dikurasi.
Pembatasan Akses yang Terencana: Menetapkan batasan waktu spesifik untuk media sosial.
Meningkatkan Self-Esteem: Fokus pada pencapaian dan kelebihan diri sendiri alih-alih perbandingan eksternal.
Dengan demikian, mengatasi FOMO bukan sekadar membatasi gawai, melainkan membangun kesadaran diri dan kemandirian untuk memilih, di mana kontrol diri menjadi penyangga utama dalam menghadapi banjir informasi.
V. Kesimpulan
FOMO di tengah banjir informasi media sosial merupakan tantangan serius yang merusak produktivitas mahasiswa melalui gangguan fokus, penurunan kepuasan hidup, dan pemicu perilaku konsumtif, sebagaimana divalidasi oleh temuan-temuan dari tahun 2024 hingga 2025. Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) telah terbukti menjadi tantangan psikologis dan struktural yang serius bagi produktivitas mahasiswa di tengah hiperkonektivitas media sosial. Berdasarkan analisis data dan temuan akademis terbaru (2024–2025), hipotesis bahwa FOMO secara signifikan menurunkan produktivitas mahasiswa terbukti valid. Dampak negatifnya bersifat sistemik: dimulai dari hilangnya fokus belajar akibat perilaku cyberloafing kompulsif, meningkatnya kecemasan, hingga terganggunya kualitas tidur yang berujuk pada penurunan performa akademik dan risiko penundaan kelulusan. Lebih dari sekadar ketidaknyamanan emosional, FOMO bahkan mendorong mahasiswa ke dalam pusaran konsumerisme impulsif dan mengikis kesejahteraan subjektif mereka. Solusi yang efektif tidak terletak pada penghapusan media sosial, melainkan pada pemberdayaan mahasiswa melalui penguatan regulasi diri. Dengan menjadikan kendali diri sebagai prioritas, mahasiswa dapat bertransformasi dari individu yang cemas akan missing out menjadi individu yang tenang dan produktif karena menikmati apa yang mereka putuskan untuk dilakukan (Joy of Missing Out). JoMO adalah filsafat yang mengajarkan bahwa kedamaian dan kepuasan sejati ditemukan dalam menghargai momen saat ini dan berfokus pada tujuan pribadi yang otentik, bukan pada perbandingan sosial eksternal.
Implikasi kebijakan dari temuan ini menuntut tanggung jawab yang lebih besar dari institusi pendidikan. Kampus dan fakultas tidak hanya perlu menyediakan literasi digital, tetapi juga intervensi kesehatan mental yang berfokus pada pelatihan manajemen waktu dan pengembangan self-esteem yang independen dari validasi media sosial. Pada akhirnya, perjuangan melawan FOMO adalah perjuangan untuk otonomi kognitif di era digital. Mahasiswa masa kini ditantang untuk membuktikan bahwa mereka dapat menjadi penguasa scroll dan bukan budak dari update orang lain. Hanya dengan demikian, produktivitas optimal yang sejalan dengan kesehatan mental yang baik dapat tercapai, memastikan bahwa energi mereka diarahkan pada inovasi dan pencapaian, bukan pada kecemasan akan ketinggalan.