Lihat ke Halaman Asli

Nibras Andaru

Mahasiswa-Manusia Pembelajar

Vandalisme vs Kerusakan Ekologis: Polemik Publik dalam Iklim Demokrasi yang Represif

Diperbarui: 31 Agustus 2025   17:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Sumber : https://www.instagram.com/p/DN8l4m4jaAF/?igsh=NXgxOGNhZW1kZ28z)

Demonstrasi pada dasarnya merupakan ruang demokratis yang dijamin konstitusi bagi rakyat untuk merespons kebijakan ugal-ugalan DPR dan Pemerintah sekaligus mengoreksi jalannya kekuasaan dalam kerangka sistem ketatanegaraan. Namun, dalam praktiknya, ruang konstitusional ini sering kali berubah menjadi arena represif yang justru menelan korban. Peristiwa terbaru memperlihatkan ketegangan tersebut: demonstrasi 28 Agustus 2025 di Jakarta berujung tragedi ketika mobil Barracuda Brimob menerabas kerumunan demonstran dan melindas seorang pengemudi ojek online, Affan (21), yang kemudian meninggal dunia. Rekaman peristiwa itu viral dan memicu kemarahan publik atas tindakan aparat tersebut. Tragedi ini segera mendorong gelombang solidaritas dan aksi lanjutan di berbagai daerah, yang berujung pada  luapan amarah dan bentrokan dengan menyisakan jejak kerusakan seperti fasilitas umum.

Dari titik inilah polemik publik kian menguat. Media sosial dipenuhi pernyataan yang saling berhadapan dan memantik polemik: satu pihak mengingatkan, "Tolong jangan rusak fasilitas umum," sementara pihak lain menegaskan, "Kerusakan fasilitas umum tidak seberapa dibanding kerusakan ekologis yang merugikan banyak warga akibat kebijakan pemerintah." Pertentangan narasi ini memperlihatkan dilema moral di tengah negara demokrasi yang kian represif: antara menjaga ketertiban dan mengekspresikan perlawanan terhadap kebijakan negara yang merugikan rakyat.

Pertanyaan mendasar yang muncul kemudian adalah apakah tindakan vandalisme dalam aksi massa dapat dibenarkan? Lebih jauh, perdebatan ini disandingkan dengan kerusakan ekologis yang dilegalkan melalui kebijakan negara, melahirkan polemik horizontal di kalangan sipil yang mempertanyakan mana yang lebih merusak? pembakaran halte dan fasilitas umum lainnya, ataukah penggundulan hutan dan kerugian lainnya yang terjadi secara sistematis?

Tidak bisa dipungkiri bahwa tindakan vandalisme dalam demonstrasi sering kali muncul bukan secara murni, melainkan bisa didorong oleh provokasi. Ada kemungkinan besar aparat atau pihak tertentu menyusup secara sistematis untuk mendelegitimasi gerakan, menciptakan kericuhan, dan menggeser fokus isu dari substansi ke permukaan. Namun, di sisi lain, vandalisme juga dapat muncul sebagai bagian dari spontanitas kolektif. Dalam situasi sporadis yang organik ketika emosi massa saling memicu, dapat melahirkan tindakan destruktif tanpa instrumen yang terorganisir.

Dalam kacamata hukum positif, perusakan fasilitas umum tentu tidak dapat dibenarkan. Namun, dalam perspektif sosial-politik yang lebih kompleks, vandalisme seringkali menjadi simbol kemarahan rakyat yang tak terbendung, sebuah bahasa politik jalanan untuk menunjukkan kekecewaan mendalam terhadap negara yang nampak seperti tuli dan buta terhadap aspirasi rakyat. Dengan demikian, vandalisme bukanlah tujuan utama dari gerakan, melainkan ekspresi emosional yang lahir dari situasi yang represif dan tanpa jalan keluar.

Perlu ditekankan bahwa vandalisme tidak lahir di ruang hampa sosial. Sebelum sampai pada titik ledakan amarah yang destruktif, masyarakat sipil berulang kali menempuh jalur konstitusional yang seharusnya menjadi saluran aspirasi dalam negara demokratis: demonstrasi damai, diskusi publik, dialog dengan pemerintah, hingga petisi resmi. Sayangnya, seluruh ruang damai itu kerap tidak digubris, bahkan dibalas dengan tindakan represif aparat yang semakin memperburuk situasi. Dalam kondisi demikian, sebagian massa merasa bahwa jalur damai sudah buntu dan tidak ada lagi cara lain untuk membuat suara mereka didengar.

Maka dari itu, vandalisme seringkali dapat dibaca bukan sekadar perusakan yang tidak bermakna, melainkan simbol peringatan keras atas negara yang tuli mendengar aspirasi rakyat. Ia adalah bahasa terakhir dari kekecewaan kolektif yang lahir ketika demokrasi gagal berfungsi sebagai ruang dialog yang bermakna, berubah menjadi sistem yang hanya menguntungkan segelintir elite politik..

Fasilitas umum sejatinya adalah milik publik yang dibangun dari pajak rakyat, sehingga merusaknya berarti merugikan masyarakat sendiri. Karena itu, secara logis dan moral, tindakan ini sulit dibenarkan. Namun, dalam konteks demonstrasi politik, kerusakan fasilitas umum sering dimaknai sebagai simbol perlawanan terhadap negara yang dianggap tidak lagi mendengar suara rakyat. Ledakan amarah itu biasanya diarahkan pada gedung-gedung pemerintahan, halte, atau infrastruktur yang dianggap mewakili wajah negara yang arogan dan tidak responsif.

Namun, ada batas tegas yang tidak bisa ditawar dalam konteks apapun: penjarahan atau perusakan milik warga sipil, Tindakan menjarah toko, merusak rumah, atau mengganggu usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sama sekali tidak relevan dengan tuntutan politik terhadap DPR maupun Kepolisian. Itu bukan lagi ekspresi politik yang dapat dipahami, melainkan kriminalitas murni yang tidak dapat ditoleransi dan seringkali dimanfaatkan oleh oknum yang tidak memiliki hati nurani dan tidak bertanggung jawab.

Jika vandalisme sipil hanya menghasilkan kerusakan temporer yang secara teknis bisa dibangun kembali dengan biaya tertentu, maka kerusakan ekologis yang dilakukan oleh negara adalah kejahatan jangka panjang yang dampaknya berlangsung lintas generasi. Negara melalui berbagai kebijakan ekstraktif tambang batubara, kelapa sawit, proyek infrastruktur yang tidak mempertimbangkan dampak lingkungan, hingga pembiaran deforestasi masif telah melakukan eksploitasi besar besaran yang merusak hutan, mencemari sungai, meracuni tanah, dan merampas tanah warga dengan dalih pembangunan nasional.

Kerusakan ini bukan insidental atau akibat kelalaian, melainkan sistematis dan dilembagakan melalui regulasi yang dibuat secara sadar. Dampaknya jauh lebih luas dan mendalam dibandingkan vandalisme: menghilangkan mata pencaharian tradisional, merusak ekosistem yang butuh ratusan tahun untuk terbentuk, bahkan mengancam kelangsungan hidup generasi mendatang dengan perubahan iklim dan bencana ekologis. Ironisnya, keuntungan ekonomi dari eksploitasi alam hanya mengalir kepada oligarki politik dan ekonomi, sementara rakyat kecil petani, nelayan, masyarakat adat justru menanggung kerugian terbesar tanpa mendapat kompensasi yang layak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline