Polemik ini menjadi semakin rumit dan menyesakkan karena demokrasi di Indonesia berjalan dalam wajah yang represif dan penuh kontradiksi. Vandalisme sipil langsung ditindak dengan hukum yang keras, diberitakan secara besar-besaran dengan framing negatif, dan dipakai sebagai alat untuk mencoreng seluruh gerakan rakyat. Media mainstream dengan cepat mengambil angle sensasional tentang kerusakan fasilitas umum, mengabaikan konteks politik dan sosial yang melatarbelakanginya. Sementara itu, kerusakan alam oleh negara dan korporasi dilegalkan atas nama pembangunan nasional, dilindungi oleh kebijakan yang dibuat secara sepihak, bahkan dibiayai oleh uang pajak rakyat yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan bersama.
Inilah wajah standar ganda demokrasi kita yang menyakitkan: tajam ke bawah, tumpul ke atas. Warga sipil dengan cepat dicap anarkis dan kriminal ketika melakukan perlawanan, sementara negara dan korporasi lolos dari tanggung jawab moral dan hukum atas kerusakan yang jauh lebih parah dan sistematis. Demokrasi semacam ini bukan lagi ruang partisipasi yang bermakna, melainkan sistem represif yang menyamarkan otoritarianisme dengan prosedur demokratis yang kosong makna.
Dalam menyikapi dilema moral ini, kita tidak boleh terjebak dalam polarisasi yang menyederhanakan masalah. Vandalisme sipil memang tidak dapat dibenarkan secara hukum dan moral, tetapi konteks sosial dan politiknya perlu dipahami secara mendalam. Ia adalah sinyal kegagalan negara dalam mendengar dan merespons aspirasi rakyat secara proporsional dan bermartabat. Penjarahan terhadap milik warga tidak bisa diberi ruang toleransi sedikitpun, sebab hal itu sudah keluar dari koridor tujuan politik dan masuk ke ranah kriminalitas murni.
Namun ketika dibandingkan dengan kerusakan alam yang dilakukan negara secara sistematis dan melembaga, skala kerugian materil dari vandalisme sipil jauh lebih kecil dan bersifat temporer. Kerusakan fasilitas umum dapat diperbaiki dalam hitungan bulan atau tahun, meski biayanya ironisnya kembali ditanggung oleh rakyat melalui pajak dan rentan di korupsi oleh elite politik dalam proyek perbaikannya. Sebaliknya, kerusakan alam membutuhkan puluhan bahkan ratusan tahun untuk pulih, dan dalam banyak kasus mungkin tidak pernah bisa kembali seperti kondisi semula. Kepunahan spesies, erosi tanah, pencemaran air tanah, dan perubahan iklim adalah kerusakan yang bersifat irreversible.
Selain kerugian materil, terdapat persoalan yang lebih subtil berupa kerugian non-materil. ketika kebijakan-kebijakan anomali justru tertoleransi dalam budaya politik dan sosial kita. Fenomena ini bukan semata karena rakyat benar-benar menerima penyimpangan, melainkan karena mereka terbiasa memakluminya. Ungkapan sederhana seperti “namanya juga pejabat” menjelma menjadi justifikasi yang terinternalisasi dalam alam bawah sadar lintas generasi dan berimplikasi pada pembentukan pola pikir permisif yang menumpulkan daya kritis, melembagakan ketidakadilan, serta menormalisasi penyimpangan sebagai hal lumrah. Normalisasi yang tidak sehat ini sama berbahayanya dengan kerusakan ekologis di ruang geografis tertentu, sebab pola pikir permisif tersebut melahirkan kerusakan ekologis yang lebih luas yakni kerusakan pada ekologi kesadaran kolektif bangsa.
Dan perlu digarisbawahi dari sisi aktor dan kepentingan, vandalisme tidak memberi keuntungan ekonomi atau politik bagi pelakunya-ia dapat murni merupakan ekspresi frustasi tanpa kalkulasi untung-rugi. Sebaliknya, eksploitasi alam justru menguntungkan segelintir elite yang menggunakannya untuk memperkuat posisi politik dan ekonomi mereka, menciptakan lingkaran setan antara kekuasaan dan modal untuk memenangkan konstentasi politik yang menggerus keadulatan rakyat.
Karena itu, dilema moral ini seharusnya tidak membutakan kita terhadap akar masalah yang sesungguhnya. Fokus berlebihan pada vandalisme sementara mengabaikan kerusakan ekologis yang sistematis adalah bentuk pengalihan isu yang berbahaya. Demokrasi hanya akan sehat dan bermartabat jika hukum ditegakkan secara adil dan proporsional: menolak vandalisme sipil sambil memberikan ruang dialog yang bermakna bagi aspirasi rakyat, tetapi sekaligus menuntut pertanggungjawaban negara atas kerusakan ekologis yang jauh lebih serius dan mengancam masa depan bangsa.
Pada akhirnya, vandalisme dan kerusakan alam adalah dua sisi dari kegagalan demokrasi yang sama: ketidakmampuan sistem politik untuk mengelola konflik sosial secara dewasa dan menciptakan ruang dialog yang adil bagi semua pihak. Solusinya bukan polarisasi atau saling menyalahkan, melainkan reformasi mendasar terhadap sistem politik yang lebih responsif, transparan, dan bertanggung jawab kepada rakyat dan lingkungan hidup sebagai warisan bersama generasi mendatang. Namun di luar dari kerusakan materil yang kasat mata, terdapat aspek non-materil yang tak kalah berbahaya yakni pola pikir permisif yang menormalisasi penyimpangan hingga dapat menumpulkan daya kritis. Maka dari itu, membenahi demokrasi tidak cukup hanya dengan memperbaiki institusi dan regulasi, tetapi juga menata kesadaran kolektif bangsa agar menjadi fondasi kekuatan untuk mengawal demokrasi kita dalam merespons ketidakadilan di negeri ini.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI