Lihat ke Halaman Asli

nadyaagustin

Mahasiswa

"Pemikiran Agus Hermanto terhadap pembaruan hukum islam "

Diperbarui: 23 Maret 2025   17:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber://agus hermanto M.H.,i

"LARANGAN PERKAWINAN PERSPEKTIF FIKIH RELEVANSINYA DENGAN HUKUM  PERKAWINAN  DI INDONESIA "

Dr. Agus hermanto, M.H.I. adalah seorang akademis dan peneliti yang berfokus pada bidang studi islam dan ekologi. Ia dikenal sebagai dosen UIN Raden Intan Lampung dan telah berkontribusi dalam pengembangan pemikiran islam yang berwawasan lingkungan.

Menurut fitrahnya, manusia dilengkapi Tuhan dengan kecenderungan seks (libido seksualitas). Sudah menjadi kodrat alam, bahwa dua orang manusia dengan jenis kelamin yang berlainan, seorang perempuan dan laki laki memiliki daya tarik satu sama lainnya untuk hidup bersama. Dalam Ilmu Alam, dikemukakan bahwa segala sesuatu terdiri dari dua pasangan. Air yang kita minum (terdiri dari oksigen dan hydrogen), listrik, ada positif dan negatifnya. Islam adalah agama yang fitrah, Tuhan menyediakan wadah yang legal untuk terselenggaranya penyaluran tersebut yang sesuai dengan derajat manusia. 

Perkawinan mempunyai tujuan yang bersifat jangka panjang, sebagaimana keinginan dari manusia itu sendiri dalam rangka membina kehidupan yang rukun, tenteram dan bahagia dalam suasana cinta kasih dari dua jenis mahluk ciptaan Allah SWT, yaitu terpeliharanya lima aspek al Maqâshid al-Khamsah atau al-Maqâsid al-Syarî’ah, yaitu memelihara (1) agama (hifz al-dîn), (2) jiwa (hifz al-nafs), (3) akal (hifz al-‘aql), (4) keturunan (hifz al-nasâb), dan (5) harta (hifz al-mâl), yang (kemudian) disepakati oleh ilmuwan hukum Islam lainnya.  Bahkan menurur Azhar Basyar, seseorang dilarang untuk membujang.

Seperti halnya pembatalan perkawinan, larangan perkawinan ternyata membawa konsekuensi yang tidak jauh berbeda dengan masalah pembatalan perkawinan, dalam kaitannya dengan perkawinan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda dan sesusuan sampai pada derajat tertentu adalah suatu hal yang bisa mengancam kelangsungan perkawinannya.

Para ulama klasik sepakat bahwa yang dimaksud dengan larangan dalam perkawinan ialah larangan untuk kawin antara seorang pria dengan seorang wanita, sedangkan menurut syarâ’, larangan tersebut dibagi dua, yaitu halangan abadi (haram ta’bîd) dan halangan sementara (haram gairu ta’bîd/ ta’qít). Wanita yang terlarang untuk dikawini itu disebut mahram. Diantara larangan-larangan ada yang telah disepakati dan ada yang masih diperselisihkan.

Larangan yang telah disepakati ada tiga, yaitu:

Nasab (keturunan), dalam perspektif fikih, wanita-wanita yang haram dinikahi untuk selamanya (ta’bîd) karena pertalian nasab adalah; 1) Ibu Kandung, perempuan yang ada hubungan darah dalam garis keturunan garis keatas, yaitu ibu, nenek (baik dari pihak ayah maupun ibu dan seterusnya keatas), 2) Anak perempuan kandung, wanita yang mempunyai hubungan darah dalam garis lurus kebawah, yakni anak perempuan, cucu perempuan, baik dari anak laki-laki maupun perempuan dan seterusnya kebawah, 3) Saudara perempuan, baik seayah seibu, seayah saja, atau seibu saja, 4) Bibi, adalah saudara perempuan ayah atau ibu, baik saudara sekandung ayah atau ibu dan seterusnya keatas, 5) Kemenakan (keponakan) perempuan, yaitu anak perempuan saudara laki-laki atau perempuan dan seterusnya.

Persusuan (radhā’ah), menurut pandangan para ulama, bahwa larangan kawin karena hubungan sesusuan adalah sampainya air susu wanita ke dalam perut anak yang belum mencapai usia dua tahun Hijriyah dengan metode tertentu. Wanita atau laki-laki yang mempunyai mahram dari jalur susu mempunyai keistimewaan dan kekebalan hukum sebagaimana mahram yang terbentuk dari jalur nasab. Yaitu antara laki-laki dan wanita yang terikat dalam mahram radâ’ tidak boleh saling mengawini.

Wanita yang haram dinikahi karena hubungan masaharah atau perkawinan kerabat semenda, keharaman ini disebutkan dalam surat al-Nisâ’ ayat 23. Jika diperinci tersebut; 1) Mertua perempuan, nenek perempuan istri dan seterusnya keatas, baik dari garis ibu atau ayah. 2) Anak tiri, dengan syarat kalau telah terjadi hubungan kelamin dengan ibu anak tersebut. 3) Menantu, yakni istri anak, istri cucu dan seterusnya kebawah. 4) Ibu tiri, yakni bekas istri ayah, untuk kali ini tidak disyaratkan harus adanya hubungan seksual antara ibu dengan ayah. Persoalan dalam hubungan musaharah adalah keharaman ini disebabkan karena semata-mata akad (perkawinan) yang sah, atau dapat juga dikarenakan perzinahan.

Imam Syafi’i berpendapat bahwa larangan perkawinan karena musaharah hanya disebabkan oleh semata-mata akad saja, tidak bisa karena perzinaan, dengan alasan tidak layak perzinaan yang dicela itu disamakan dengan hubungan musaharah. Sebaliknya, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa larangan perkawinan karena musaharah, disamping disebabkan akad yang sah, bisa juga disebabkan karena perzinaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline