Harmoni dalam Sebuah Kerucut Nasi
Bagi masyarakat Jawa, tumpeng bukan sekadar makanan. Ia adalah doa yang diwujudkan dalam bentuk nasi berbentuk kerucut lambang hubungan manusia dengan Tuhan, alam, dan sesama. Bentuknya yang menjulang ke atas menggambarkan perjalanan spiritual manusia menuju Yang Maha Tinggi, sementara butiran nasinya melambangkan kebersamaan dan kekuatan yang muncul dari persatuan. Nama tumpeng sendiri berasal dari ungkapan tumapaking penguripan-tumindak lempeng-tumuju Pangeran, yang berarti “menata kehidupan dengan lurus menuju Tuhan” (Ed-dally, 2019).
Tumpeng dalam Kacamata Etnobiologi
Dalam perspektif etnobiologi, tumpeng menjadi simbol hubungan timbal balik antara manusia dan alam. Etnobiologi mempelajari bagaimana manusia memahami, memanfaatkan, dan memberi makna pada sumber daya hayati yang ada di sekitarnya (Setiono, 2020).
Setiap bahan dalam tumpeng bukan sekadar pelengkap rasa, tetapi sarat makna ekologis:
Nasi (Oryza sativa): lambang kehidupan dan kemakmuran.
Ayam ingkung (Gallus domesticus) : melambangkan ketundukan dan doa yang khusyuk.
Telur ayam : menggambarkan kesetaraan dan fitrah manusia.
Ikan teri (Stolephorus sp.) : menandakan kerukunan dan kebersamaan.
- Sayur urap (kangkung, bayam, taoge, kacang panjang, dan bawang merah) : melambangkan perlindungan, ketentraman, pertumbuhan, dan kebijaksanaan.
Dari bahan-bahan itu terlihat bahwa masyarakat Jawa memiliki pengetahuan ekologis tradisional yang mendalam mereka memahami fungsi tumbuhan dan hewan dalam kehidupan sehari-hari, serta mengaitkannya dengan nilai spiritual dan sosial (Ningsih & Pujawati, 2016).
Makna Sosial dan Nilai Kearifan Lokal