Setiap menjelang bulan suci Ramadhan, Kota Semarang memiliki tradisi unik yang telah berlangsung sejak 1881, yakni Dugderan. Tradisi ini tidak hanya menjadi penanda dimulainya ibadah puasa, tetapi juga menjadi simbol akulturasi budaya yang kuat di kota pelabuhan ini. Berakar dari kebijakan Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat, Dugderan awalnya bertujuan menyatukan persepsi masyarakat mengenai awal Ramadhan. Namun seiring waktu, ia berkembang menjadi perayaan rakyat yang penuh warna dan sarat makna historis.
Salah satu elemen khas dalam Dugderan adalah arak-arakan Warak Ngendog, hewan imajiner bertubuh kambing, berkepala naga, berkulit bersisik warna-warni, dan bertelur. Warak Ngendog mencerminkan nilai-nilai keberagaman di Semarang, yang merupakan perpaduan budaya Jawa, Islam, Arab, dan Tionghoa. Tubuhnya yang menyerupai kambing melambangkan kesederhanaan dalam tradisi Islam, sementara kepala naga menunjukkan pengaruh budaya Tionghoa yang kuat. Sisik warna-warni mencerminkan pluralitas etnis di Semarang, sementara telur yang dihasilkannya melambangkan keberkahan dan hasil dari kebaikan.
Warak Ngendog mengajarkan bahwa perbedaan adalah kekuatan, bukan pemisah.
Nama Dugderan sendiri diambil dari bunyi bedug yang ditabuh berkali-kali, "dug dug", diiringi suara meriam atau petasan "der der". Gabungan bunyi ini menegaskan suasana semarak dan kegembiraan dalam menyambut datangnya Ramadhan. Selain itu, tradisi ini juga mengandung pesan sosial yang mendalam, yakni semangat kebersamaan dan kompak dalam menentukan awal bulan Ramadhan.
Kegiatan utama dalam Dugderan meliputi pasar rakyat dan karnaval budaya. Pasar rakyat menjadi sarana interaksi ekonomi bagi masyarakat, di mana berbagai produk lokal, jajanan khas, hingga cendera mata bertema Warak Ngendog dijual. Sementara itu, arak-arakan karnaval melibatkan berbagai elemen masyarakat, mulai dari pejabat pemerintah, santri, pelajar, hingga komunitas budaya, yang menunjukkan harmoni sosial di kota ini.
Dugderan biasanya dipusatkan di kawasan Johar dan Masjid Kauman, dua lokasi yang memiliki nilai sejarah tinggi di Semarang. Pasar Johar sebagai pusat perdagangan merefleksikan dinamika ekonomi kota, sementara Masjid Kauman sebagai tempat ibadah menjadi simbol keberagamaan yang menjadi esensi utama dari tradisi ini. Perpaduan antara perdagangan dan spiritualitas ini mencerminkan kehidupan masyarakat Semarang yang selalu beriringan antara duniawi dan ukhrawi.
Dugderan di Era Modern, Tantangan dan Peluang
Patung Warak Ngendog di Jalan Pandanaran (Sumber: indoraya.news)
Dalam era modern, Dugderan menghadapi berbagai tantangan, terutama dalam mempertahankan keasliannya di tengah gempuran komersialisasi dan digitalisasi budaya. Namun, dengan inovasi yang tetap berpijak pada nilai-nilai tradisional, Dugderan masih dapat terus relevan sebagai bagian dari warisan budaya Semarang. Digitalisasi promosi, integrasi dengan sektor pariwisata, dan pelibatan generasi muda dalam pelestariannya dapat menjadi solusi agar tradisi ini terus lestari. Warak Ngendog sendiri sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya tak Benda (WBtB) nasional atau intangible cultural heritage 2022.
Dugderan bukan sekadar pesta rakyat menyambut Ramadhan, melainkan cermin dari harmonisasi budaya yang telah mengakar di Semarang. Kehadirannya membuktikan bahwa tradisi dapat menjadi jembatan bagi keberagaman, memperkuat identitas lokal, dan tetap relevan dalam arus perubahan zaman. Oleh karena itu, Dugderan layak terus dirawat sebagai bagian dari kekayaan budaya Indonesia yang unik dan berharga.