Kesetaraan gender di dunia kerja masih menjadi persoalan yang belum terselesaikan di Indonesia. Pandangan tradisional yang menempatkan laki-laki sebagai pencari nafkah utama dan perempuan sebagai pengurus rumah tangga telah membatasi ruang gerak perempuan dalam pasar kerja. Akibatnya, partisipasi perempuan masih rendah, terutama di sektor formal, serta sering dihadapkan pada stereotip, diskriminasi, dan kesenjangan upah. Kondisi ini menunjukkan bahwa hambatan yang dihadapi perempuan bukanlah faktor alamiah, melainkan hasil konstruksi budaya dan sosial yang mengakar dalam masyarakat.
Anggapan bahwa laki-laki berperan sebagai pencari nafkah dan perempuan bertugas mengurus rumah tangga menjadi salah satu faktor rendahnya partisipasi perempuan dalam pasar tenaga kerja di Indonesia, yang jumlahnya masih di bawah 10% dan jauh lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Meskipun demikian, jumlah perempuan yang bekerja untuk membantu memenuhi kebutuhan ekonomi terus bertambah, meski tetap tidak sebanyak laki-laki. Saat ini, semakin banyak perempuan yang turut serta menjadi pencari pendapatan tambahan guna mendukung kebutuhan keluarga maupun kebutuhan hidupnya (Dwi, 2017).
Minimnya kesempatan kerja di dalam negeri mendorong banyak masyarakat untuk mencari pekerjaan di luar negeri. Istilah Pekerja Migran Indonesia (PMI) digunakan untuk menyebut warga negara Indonesia yang bekerja di negara lain. Data menunjukkan bahwa jumlah PMI perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki, khususnya di sektor informal atau pekerjaan domestik (Santika dkk., 2012). Kondisi ini berkaitan erat dengan stereotip gender yang membentuk persepsi mengenai kemampuan dan kompetensi pekerja. Akibatnya, muncul penilaian yang tidak adil, di mana beberapa pekerjaan dianggap lebih cocok bagi laki-laki, sehingga perempuan yang menekuninya sering dinilai lebih rendah (Heilman, 2012). Selain itu, salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya upah perempuan adalah keterbatasan mereka dalam mengakses sektor formal (Vibriyati, 2013). Gambaran perempuan sebagai sosok lemah, baik secara fisik maupun mental, juga memperkuat ketidaksetaraan gender dalam proses pengambilan keputusan di dunia kerja (Puspita Sari, 2021).
Pada akhirnya, isu kesetaraan gender di tempat kerja tetap menjadi hal penting dan masih banyak hambatan, meskipun sudah sering dibicarakan oleh berbagai kalangan seperti pegiat sosial, tokoh politik, dan pejabat pemerintah. Dalam penerapan sehari-hari, konsep kesetaraan gender sering dikaitkan dengan ketidakadilan yang dihadapi perempuan. Ketidaksetaraan ini tidak muncul secara alami, melainkan hasil dari pengaruh budaya dan masyarakat yang sudah terbawa dalam pikiran banyak orang, di mana perempuan sering dianggap sebagai pihak yang lebih pasif dibandingkan laki-laki.
Referensi
Nuraeni, Y., & Lilin Suryono, I. (2021). Analisis Kesetaraan Gender dalam Bidang Ketenagakerjaan Di Indonesia. Nakhoda: Jurnal Ilmu Pemerintahan, 20(1). https://doi.org/10.35967/njip.v20i1.134
Anik, I., Puspitasari, N. R., Yulianti, N., Putra, M. T. P., & Kunarso. (2023). Kesetaraan Gender Dalam Hukum Ketenagakerjaan. Eksekusi: Jurnal Ilmu Hukum Dan Administrasi Negara, 1(2), 31--46. Retrieved from http://journal-stiayappimakassar.ac.id/index.php/Eksekusi/article/view/471 http://journal-stiayappimakassar.ac.id/index.php/Eksekusi/article/download/471/481
Leovani, E., Ismadi, F. H., & Terenggana, C. A. (2023). Ketidaksetaraan Gender Di Tempat Kerja: Tinjauan Mengenai Proses Dan Prak tek Dalam Organisasi. Analisis, 13(2), 303-319.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI