Hari-hari ini umat Muslim tengah menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Puasa juga ada dalam tradisi agama yang lain tentunya dengan cara dan ritual yang berbeda. Di Katolik ada puasa Pra Paskah selama 40 hari. Kalau di Buddha puasa disebut dengan Uposatha, sementara Hindu menamai puasa sebagai Upasawa. Sedangkan Khonghucu mengenal yang namanya puasa jasmani dan rohani. Dalam tradisi Kejawen pun di kenal adanya puasa yang lazim dikenal sebagai 'tirakat' atau 'laku prihatin' seperti puasa weton, puasa mutih atau pati geni. Secara esensi semua tradisi puasa tersebut punya tujuan yang sama yaitu meningkatkan kualitas diri dan mendekatkan pada Tuhan.
Di sisi lain, puasa juga memberikan kita momentum untuk melakukan refleksi yaitu proses merenungkan kembali pengalaman, tindakan dan peristiwa yang terjadi dalam kehidupan kita. Dalam pemikiran filsafat, perenungan bertujuan untuk mendapatkan 'makna mendalam' dengan cara mengeksplorasi keberadaan, pengetahuan dan nilai-nilai sebagai manusia. Menilik konteks ruang dan waktu, yang kita butuhkan saat ini adalah semacam perenungan eksistensial terhadap keberadaan kita dalam satu episode kehidupan yang disebut sebagai era komunikasi digital. Hal ini sejalan dengan Montage dan Diefenbach (2018) yang menilai bahwa di antara sekian banyak tantangan yang harus dihadapi masyarakat digital adalah gaya hidup yang semakin terfragmentasi yang menyebabkan hilangnya produktivitas serta momen untuk refleksi diri.
Dalam mitologi Romawi, Janus adalah dewa pintu, gerbang, dan transisi yang mewakili jalan tengah antara dualitas konkret dan abstrak seperti hidup-mati, awal-akhir, muda-dewasa, perang-damai dan barbarisme-peradaban Yang tidak biasa dari Janus adalah citranya yang ikonik, digambarkan dengan dua wajah, satu menghadap masa lalu, dan satu menghadap masa depan. Bisa jadi era komunikasi digital mirip dengan karakter Janus, transisi antara senja kala modernitas dan fajar revolusi digital yang menghadirkan dualitas berupa ruang fisik dan ruang maya dengan batas-batas yang semakin tipis sehingga sulit dibedakan mana yang konkret dan mana yang abstrak. Seperti halnya Janus, era komunikasi digital juga menampakkan dua wajah -yang kemudian memicu perdebatan- yaitu dampak kehadiran teknologi digital baik dari sisi positip maupun negatipnya.
Dualitas wajah komunikasi digital misalnya berhubungan dengan pola interaksi sosial masyarakat. Sherry Turkle, seorang profesor sekaligus psikolog dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) dalam bukunya Alone Together: Why We Expect More from Technology and Less from Each Other (2012) menyatakan bahwa teknologi digital telah menjadi arsitek relasi sosial dan keintiman manusia. Secara daring, kita menjadi mangsa ilusi persahabatan dengan mengumpulkan ribuan teman Twitter dan Facebook, namun,hubungan yang tak kenal lelah ini mengarah pada kesunyian dan kesendirian yang mendalam. Tanpa sadar kita telah kehilangan kendali atas waktu manakala sepanjang hari berinteraksi secara online di media sosial dan pada saat yang bersamaan mengabaikan realitas nyata di sekeliling kita. Tetapi di sisi lain, Hidayat (2018) mengungkapkan sejumlah penelitian terbaru yang menunjukkan argumentasi kuat bahwa perkembangan teknologi komunikasi, terutama penemuan media sosial, tidak serta merta menggantikan atau menghilangkan pola interaksi tradisional berbasis tatap muka fisik melainkan justru melengkapi pola interaksi yang sudah ada.
Teknologi digital menurut Hardiman (2021) memang telah melahirkan apa yang disebut sebagai 'kompleksitas baru' yaitu gabungan antara dunia korporeal (fisik) dan dunia digital. Dalam kondisi ideal, keduanya menjaga batas-batasnya dan saling menafsirkan satu sama lain. Namun karena luapan informasi yang begitu deras, distingsi tersebut menghilang dan dunia digital mengambil alih dunia fisik. Akibatnya manusia mengalami kekacauan persepsi dan lebih mempercayai realitas digital ketimbang yang nyata. Pada saat yang bersamaan, manusia telah menjelma menjadi homo digitalis yang tidak sekedar menjadi pengguna gawai tapi juga bereksistensi di dalamnya (Hardiman, 2018). Eksistensi homo digitalis ditentukan oleh tindakan digitalnya, entah itu posting, chatting atau uploading. Dan mereka juga semakin betah tinggal dalam entitas atau platform digital seperti Twitter, Youtube, Instagram, Tiktok dan sebagainya.
Ambivalensi era komunikasi digital di satu sisi membuat kita semakin kosmopolitan dan menjadi warga global. Tapi di sisi lain menghadirkan masalah dan ancaman yang serius berupa thoughlessness yaitu degradasi aktivitas berpikir manusia hanya sebatas proses 'teknis' seperti browsing atau googling (Hardiman,2021). Apalagi kehadiran Artificial Intelegence (AI) seperti Chat GPT atau DeepSeek semakin membuat kita malas untuk berpikir. Proses belajar, pengorganisasian dan analisa data atau pengampilan keputusan akan sangat terbantu dengan kehadiran teknologi AI. Namun bila kehadirannya semakin mendominasi maka akan mengubah manusia menjadi cyborg-cyborg yang kehilangan kemampuan dan kapasitas berpikirnya. Padahal seperti yang ditegaskan oleh filsuf Perancis Rene Descartes bahwa fondasi eksistensi atau keberadaan manusia adalah kemampuannya berpikir. 'Corgito Ergosum', aku berpikir maka aku ada. Yang terjadi sekarang lebih merupakan 'aku klik maka aku ada'.
Problem eksistensial yang melekat (inheren) pada manusia di era komunikasi digital jelas membutuhkan jalan keluar pemecahan. Soren Kierkegaard, seorang tokoh filsafat eksistensialisme, pernah mengingatkan bahwa yang paling mendasar bagi manusia adalah eksistensinya yaitu sebuah kondisi ketika manusia bisa bertindak sebagai subjek yang benar-benar ada dan hadir dalam realitas yang sesungguhnya. Dengan demikian ketika ketergantungan terhadap teknologi digital menjadi cara manusia untuk bereksistensi (mode of existence), maka pada saat yang sama separo -untuk tidak mengatakan sepenuhnya- dari eksistensi manusia telah hilang. Pada titik inilah manusia digital telah dihadapkan pada sebuah permasalahan baru : krisis eksistensial yang membuat mereka tidak lagi sepenuhnya memiliki kebebasan untuk merealisasikan dan mengembangkan diri secara otentik.
Menghadapi permasalahan tersebut, Kierkegaard menawarkan sebuah jalan berupa 'lompatan eksistensial' (existential leap). Merujuk pada 3 tahapan perkembangan eksistensi manusia yang dirumuskan oleh Kierkegaard (Sobur,2014) maka manusia digital saat ini masih berada pada tahapan estetis. Tahapan ini dicirikan oleh kondisi di mana manusia masih mudah diombang-ambingkan oleh dorongan indrawi dan emosionalnya serta suka mengejar kesenangan dan kemudahan tanpa mempertimbangkan sisi baik buruknya. Teknologi digital memang nyata-nyata telah menghadirkan berbagai kemudahan dan kesenangan walaupun bersifat artifisial. Untuk melangkah keluar dari tahapan estetis tersebut, manusia perlu melakukan 'lompatan eksistensial' ke tahapan selanjutnya yaitu tahapan etis. Di tahapan ini, manusia mulai memperhitungkan segala tindakannya berdasar kategori baik dan buruk serta norma universal. Misalnya seorang manusia digital sudah mulai menyadari bahwa popularitas serta banyaknya follower di media sosial belum tentu membawa dampak yang baik bagi dirinya sendiri dan masyarakat. Atau kesadaran yang memperhitungkan bahwa aktivitas jari-jemarinya dalam menyebarkan hoax atau hatespeech hanya akan menimbulkan perpecahan sosial dalam masyarakat. Demikian juga kesadaran bahwa menghabiskan waktu sepanjang hari berinteraksi secara virtual di media sosial dan mengabaikan interaksi sosial nyata dengan manusia lain dalam kehidupan sehari-hari hanya akan meruntuhkan bangunan keluarga karena 'membuat jarak dengan orang-orang terdekat'.
Dalam konteks permasalahan eksistensial yang dihadapi manusia digital, puasa menjadi momentum bagi kita untuk menjernihkan kembali batas-batas antara dunia fisik dan dunia maya yang semakin memudar. Bukan untuk saling meniadakan satu sama lain tetapi menjaga kesadaran agar tidak terjebak pada hal-hal yang artifisial dan tetap menjadi pribadi yang otentik tanpa terlepas dari relasi sosial konkret. Puasa juga bisa menjadi cara kita untuk 'berhenti sejenak' dari jeratan dunia digital sehingga lebih peka terhadap kenyataan sosial yang ada di sekitar kita. Puasa tidak hanya soal membatasi aktivitas kita di dunia digital tapi lebih dari itu terbitnya kesadaran akan problematika eksistensial yang menyertainya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI