Lihat ke Halaman Asli

Don Martino

Hanya seorang hamba

Saat Gereja Memurnikan Panggilan Imamat: Studi Kasus di Keuskupan Wamba (RDK)

Diperbarui: 13 Oktober 2025   16:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Para calon imam sedang belajar di kelas. (Sumber: Dokumen STFT Fajar Timur)

Pada Selasa, 7 Oktober 2025, Dikastri Evangelisasi Vatikan mengumumkan keputusan mengejutkan: menangguhkan seluruh pembinaan calon imam di Keuskupan Wamba, Republik Demokratik Kongo (RDK). Dalam surat resmi yang ditandatangani Mgr. Sosthne Ayikuli Udjuwa, Administrator Apostolik Keuskupan Wamba, dijelaskan bahwa situasi gerejawi yang sulit di sana "tidak kondusif bagi pembinaan calon imam" dan karenanya formasi dihentikan sampai ada pemberitahuan lebih lanjut.

Krisis ini bermula sejak Januari 2024, saat Mgr. Emmanuel Ngona Ngotsi diangkat sebagai Uskup Diosesan Wamba. Meski sudah ditahbiskan di ibu kota, Kinshasa, ia belum mengambil alih secara kanonik tahta episkopalnya karena sebagian imam dan umat menolak kehadirannya. Mereka bersikeras bahwa keuskupan seharusnya dipimpin oleh "putra daerah". Akibat situasi tersebut, seminari utama, Seminari Menengah St. Leo di Lingondo, dinilai tidak lagi mampu memenuhi standar pembinaan Gereja universal.

Para seminaris kini diarahkan untuk melanjutkan formasi di keuskupan lain yang bersedia menerima mereka, atau bila mereka merasa terpanggil ke hidup religius, diizinkan melanjutkan formasi dalam tarekat hidup bakti.

Tindakan Hukum Gereja yang Tepat dan Berani

Secara hukum kanonik, langkah Vatikan ini sepenuhnya sah dan bijaksana. Menurut Kanon 232-264 KHK 1983, tanggung jawab atas pembinaan calon imam memang berada pada Uskup Diosesan. Namun, otoritas tertinggi dalam pembinaan klerus tetap berada pada  Takhta Suci, melalui Ratio Fundamentalis Institutionis Sacerdotalis (kan. 242 1).

Maka, ketika sebuah keuskupan menghadapi konflik yang mengancam kesatuan Gereja dan kualitas formasi, Vatikan memiliki hak untuk menangguhkan atau memindahkan proses pembinaan. Keputusan ini juga selaras dengan prinsip tertinggi dalam hukum Gereja: Salus animarum suprema lex yaitu keselamatan jiwa-jiwa adalah hukum tertinggi (kan. 1752), bahwa lebih baik menghentikan formasi untuk sementara, daripada membiarkan calon imam tumbuh dalam atmosfer konflik dan ketidaktaatan yang berpotensi merusak kesetiaan imamat di masa depan. Langkah ini bukan bentuk hukuman, melainkan tindakan penyembuhan (actio sanativa), yang merupakan cara Gereja melindungi benih panggilan dari tanah yang retak, tandus, berbatu dan kering. 

Krisis Identitas: Ketika Gereja Dilihat Sebagai Milik Kelompok

Penolakan terhadap Uskup Ngona Ngotsi bukan hanya masalah personal atau politik. Ia adalah gejala krisis eklesiologis yang mendalam: ketika sebagian umat memandang Gereja bukan lagi sebagai communio fidelium, persekutuan umat beriman yang bersatu dalam Kristus, melainkan sebagai milik etnis, suku, atau kelompok tertentu. Padahal, Gereja bersifat katolik yang artinya universal, melampaui batas daerah, suku, atau budaya.

Uskup diutus bukan karena asal-usulnya, melainkan karena kesediaannya untuk menjadi gembala bagi seluruh umat Allah. Pertanyaan yang muncul bagi kita semua: Apakah kita sungguh siap menerima Gereja sebagai milik Kristus, bukan milik kelompok kita?.

Formasi imamat bukan sekadar studi teologi dan liturgi, tetapi proses pembentukan hati yang setia, taat, dan terbuka pada Roh Kudus. Kehidupan seminari adalah cerminan mini dari Gereja universal, tempat para calon imam belajar ketaatan kepada Gereja yang konkret, bukan kepada kelompok atau opini. Karena itu, bila formasi dijalankan di tengah perpecahan, integritas panggilan akan terganggu. Imam bukan sekadar pemimpin rohani, tetapi ikon kesatuan Gereja.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline