JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan 21 tersangka dalam skandal korupsi dana hibah Jawa Timur. Namun, fokus penyidikan yang hanya menyasar anggota legislatif dan pihak swasta memicu pertanyaan krusial mengenai peran pihak eksekutif dalam skandal ini.
Publik menyoroti mengapa belum ada satu pun pejabat pemerintah provinsi yang terseret. Padahal, eksekutif memegang kunci akhir dalam proses verifikasi dan pencairan anggaran.
Skema Korupsi Pokir "Ijon" Terbongkar
Modus operandi yang diungkap KPK memperlihatkan bagaimana dana aspirasi (Pokok-pokok Pikiran/Pokir) DPRD diubah menjadi ladang korupsi. Skema ini melibatkan tiga aktor utama:
Pimpinan DPRD: Bertindak sebagai penguasa alokasi anggaran. Satu pimpinan dewan diketahui mengelola alokasi hingga Rp 398,7 miliar.
Koordinator Lapangan (Korlap): Pihak swasta yang berperan sebagai perantara. Mereka bertugas mencari Kelompok Masyarakat (Pokmas) "boneka" dan membuat proposal fiktif.
Kelompok Masyarakat (Pokmas): Digunakan sebagai entitas formal untuk mengajukan proposal hibah.
Para Korlap menyetor fee di muka (ijon) sebesar 15-20% kepada oknum legislatif. Praktik ini memastikan proposal fiktif mereka mendapatkan alokasi dana hibah.
Akibatnya, dana pembangunan yang diterima masyarakat hanya berkisar antara 55% hingga 70% dari total anggaran. Sisanya menguap menjadi bancakan para koruptor.
Titik Kritis Bernama Verifikasi Eksekutif
Dalam alur birokrasi, peran legislatif dan eksekutif sangat jelas terpisah. Legislatif hanya berwenang mengusulkan dan melakukan pengawasan.
Sementara itu, eksekutif memiliki otoritas penuh untuk mengeksekusi anggaran. Proses ini mencakup verifikasi proposal hingga pencairan dana yang ditandatangani oleh kepala daerah.