Mohon tunggu...
Don Martino
Don Martino Mohon Tunggu... Hanya seorang hamba

Seorang warga dari Keuskupan Agats Asmat, Papua. Mencoba menginspirasi orang-orang terdekat lewat doa dan tulisan.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Saat Gereja Memurnikan Panggilan Imamat: Studi Kasus di Keuskupan Wamba (RDK)

13 Oktober 2025   16:17 Diperbarui: 13 Oktober 2025   16:26 890
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para calon imam sedang belajar di kelas. (Sumber: Dokumen STFT Fajar Timur)

Bagaimana mungkin seseorang yang tumbuh dalam iklim ketidaktaatan dapat memimpin umat menuju kesatuan dalam Kristus? Maka, keputusan Vatikan untuk menunda formasi di Wamba sejatinya adalah upaya menjaga kesucian imamat dari polusi rohani konflik manusiawi. Seperti pesan yang tersirat di balik keputusan itu: "Lebih baik kehilangan waktu, daripada kehilangan arah panggilan."

Pelajaran untuk Gereja Lokal di Seluruh Dunia

Kisah ini menyentuh kita semua. Dalam konteks pastoral di banyak tempat, kadang juga muncul suara-suara serupa: "Uskup kami bukan orang sini," atau "Ia tidak mengerti budaya kami." Kalimat-kalimat seperti ini mudah terdengar biasa, tetapi bila terus dibiarkan, ia mengikis dasar iman kita pada kesatuan Gereja di bawah pimpinan Paus dan para uskup yang sah.

Inkulturasi sejati bukan berarti menjadikan Gereja milik satu budaya, tetapi membiarkan Injil meresap ke dalam budaya tanpa mengorbankan kesatuan Gereja. Gereja yang matang adalah Gereja yang mampu menyatukan perbedaan, bukan memperkuat sekat.

Tindakan Dikastri Evangelisasi pada 7 Oktober 2025 itu adalah wujud nyata wajah Gereja sebagai Bunda yang menyembuhkan. Dengan menunda pembinaan, Gereja memberi waktu bagi Keuskupan Wamba untuk memulihkan persaudaraan yang retak. Dan dengan memberi kesempatan kepada para seminaris untuk melanjutkan formasi di keuskupan lain, Vatikan menunjukkan keadilan dan belas kasih: panggilan pribadi tetap dijaga, tidak boleh mati karena konflik struktural.

Dari Wamba, dunia Katolik belajar bahwa Gereja tidak takut pada krisis, artinya Gereja memurnikan dirinya melalui krisis. Roh Kudus bekerja bahkan di tengah peristiwa yang menyakitkan, menyingkap luka agar Gereja disembuhkan, mengguncang struktur agar iman kembali kepada dasar: komuni, ketaatan, dan pelayanan. Kita diajak melihat bahwa pembinaan calon imam bukan hanya tentang mencetak pemimpin, tetapi membentuk hati yang siap mencintai Gereja dalam luka dan ketidaksempurnaannya. Hanya imam yang belajar mencintai Gereja dalam masa sulitlah yang kelak mampu menyembuhkan luka umatnya.

Panggilan untuk Gereja Indonesia

Kisah Wamba adalah cermin bagi kita semua. Di tengah tantangan zaman yang penuh dengan bahaya sekularisasi, konflik sosial, dan krisis iman, Gereja di Indonesia pun dipanggil untuk menjaga kesatuan, mendukung panggilan, dan membina klerus dalam semangat ketaatan. Ketaatan bukanlah pengekangan kebebasan, tetapi jalan menuju kebebasan sejati, yakni kebebasan untuk mengasihi tanpa syarat, seperti Kristus yang taat sampai wafat di salib. Maka, dari jauh di benua Afrika, kita mendengar gema Roh Kudus yang sama: Imamat tidak lahir dari kehebatan manusia, tetapi dari kesetiaan pada misteri Gereja.

Catatan sumber:

Berita asli dimuat oleh ACI Africa pada 7 Oktober 2025 dengan judul:

"Vatican Halts Formation of Seminarians in DR Congo's Wamba Diocese Until Further Notice, Cites Difficult Environment."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun