Bagaimana mungkin seseorang yang tumbuh dalam iklim ketidaktaatan dapat memimpin umat menuju kesatuan dalam Kristus? Maka, keputusan Vatikan untuk menunda formasi di Wamba sejatinya adalah upaya menjaga kesucian imamat dari polusi rohani konflik manusiawi. Seperti pesan yang tersirat di balik keputusan itu: "Lebih baik kehilangan waktu, daripada kehilangan arah panggilan."
Pelajaran untuk Gereja Lokal di Seluruh Dunia
Kisah ini menyentuh kita semua. Dalam konteks pastoral di banyak tempat, kadang juga muncul suara-suara serupa: "Uskup kami bukan orang sini," atau "Ia tidak mengerti budaya kami." Kalimat-kalimat seperti ini mudah terdengar biasa, tetapi bila terus dibiarkan, ia mengikis dasar iman kita pada kesatuan Gereja di bawah pimpinan Paus dan para uskup yang sah.
Inkulturasi sejati bukan berarti menjadikan Gereja milik satu budaya, tetapi membiarkan Injil meresap ke dalam budaya tanpa mengorbankan kesatuan Gereja. Gereja yang matang adalah Gereja yang mampu menyatukan perbedaan, bukan memperkuat sekat.
Tindakan Dikastri Evangelisasi pada 7 Oktober 2025 itu adalah wujud nyata wajah Gereja sebagai Bunda yang menyembuhkan. Dengan menunda pembinaan, Gereja memberi waktu bagi Keuskupan Wamba untuk memulihkan persaudaraan yang retak. Dan dengan memberi kesempatan kepada para seminaris untuk melanjutkan formasi di keuskupan lain, Vatikan menunjukkan keadilan dan belas kasih: panggilan pribadi tetap dijaga, tidak boleh mati karena konflik struktural.
Dari Wamba, dunia Katolik belajar bahwa Gereja tidak takut pada krisis, artinya Gereja memurnikan dirinya melalui krisis. Roh Kudus bekerja bahkan di tengah peristiwa yang menyakitkan, menyingkap luka agar Gereja disembuhkan, mengguncang struktur agar iman kembali kepada dasar: komuni, ketaatan, dan pelayanan. Kita diajak melihat bahwa pembinaan calon imam bukan hanya tentang mencetak pemimpin, tetapi membentuk hati yang siap mencintai Gereja dalam luka dan ketidaksempurnaannya. Hanya imam yang belajar mencintai Gereja dalam masa sulitlah yang kelak mampu menyembuhkan luka umatnya.
Panggilan untuk Gereja Indonesia
Kisah Wamba adalah cermin bagi kita semua. Di tengah tantangan zaman yang penuh dengan bahaya sekularisasi, konflik sosial, dan krisis iman, Gereja di Indonesia pun dipanggil untuk menjaga kesatuan, mendukung panggilan, dan membina klerus dalam semangat ketaatan. Ketaatan bukanlah pengekangan kebebasan, tetapi jalan menuju kebebasan sejati, yakni kebebasan untuk mengasihi tanpa syarat, seperti Kristus yang taat sampai wafat di salib. Maka, dari jauh di benua Afrika, kita mendengar gema Roh Kudus yang sama: Imamat tidak lahir dari kehebatan manusia, tetapi dari kesetiaan pada misteri Gereja.
Catatan sumber:
Berita asli dimuat oleh ACI Africa pada 7 Oktober 2025 dengan judul:
"Vatican Halts Formation of Seminarians in DR Congo's Wamba Diocese Until Further Notice, Cites Difficult Environment."