Ketika seorang mantan presiden---yang selama satu dekade menjadi pemimpin negara ini---mengucapkan satu kata sederhana: "sedih," seharusnya itu cukup membuat bangsa ini berhenti sejenak dan merenung.
Joko Widodo, atau yang akrab disapa Jokowi, bukanlah tipe pemimpin yang mudah larut dalam perasaan. Gaya komunikasinya yang lugas, ekspresinya yang cenderung datar, dan sikapnya yang jarang menunjukkan emosi kuat di depan publik, membuat pengakuan ini menjadi penanda penting dalam lanskap politik Indonesia pasca 2024.
Dua momentum yang memantik kesedihan itu muncul nyaris beriringan. Pertama, ketika Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, secara terbuka menanggapi isu ijazah palsu Jokowi dengan nada retoris: "Kok sulit amat, tunjukin aja." Kedua, ketika Jokowi menjelaskan alasan dirinya akhirnya memutuskan untuk menuntut sejumlah pihak yang selama bertahun-tahun menyebarkan tuduhan palsu terkait ijazahnya.
Namun, yang menarik bukan hanya apa yang dikatakan, tapi juga mengapa dan kapan ia mengatakannya.
---
Kesedihan Pertama: Luka dalam Hubungan Megawati-Jokowi
Megawati bukan sekadar ketua umum partai bagi Jokowi. Ia adalah tokoh kunci yang memberi tiket politik penting bagi Jokowi dari Solo ke Jakarta, lalu ke Istana Negara. Jokowi adalah kader PDIP, dan saat ia masih menjadi "anak bawang" dalam dunia politik nasional, Megawati-lah yang mengusung dan membelanya.
Tapi kini, di ujung masa jabatannya sebagai presiden dan setelah hubungan yang menegang sejak 2022 karena perbedaan arah politik, termasuk soal pencalonan Ganjar Pranowo, Megawati seolah "mencuci tangan" dari polemik yang menghantam Jokowi. Ucapan singkatnya terkait isu ijazah bisa ditafsirkan sebagai sikap lepas tanggung jawab, atau setidaknya sikap yang tidak memihak.
Bagi Jokowi, ini bukan sekadar soal ijazah. Ini soal loyalitas dan penghargaan atas sejarah bersama. Ia "sedih" karena tidak menyangka bahwa Megawati---yang tahu pasti rekam jejak dan kebenaran tentang dirinya---justru terkesan membiarkan tuduhan itu menggelinding, bahkan mungkin menambah bebannya dengan komentar sinis di ruang publik.
---
Kesedihan Kedua: Harga Diri yang Tak Bisa Lagi Ditawar