Lihat ke Halaman Asli

Yulius Maran

TERVERIFIKASI

Educational Coach

Menjalin Kebhinekaan, Merajut Harmoni Global

Diperbarui: 15 Februari 2025   22:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokpri - Kunjungan Kedutaan Irak -2025

Di era Gen Z yang ditandai dengan keterhubungan digital, keberagaman bukan sekadar realitas, tetapi juga dinamika yang membentuk cara mereka berpikir dan berinteraksi. Generasi ini tumbuh dalam dunia yang serba cepat, di mana batas geografis semakin pudar dan interaksi lintas budaya terjadi setiap hari melalui media sosial, game online, dan komunitas global. Mereka lebih terbuka terhadap perbedaan, tetapi juga menghadapi tantangan dalam memahami makna kebhinekaan yang lebih mendalam, terutama dalam membangun kesadaran akan keberagaman global dan kepedulian sosial.

Sebagai bentuk komitmen dalam menanamkan nilai kebhinekaan, SMA Regina Pacis Jakarta menyelenggarakan Pekan Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) pada 10-14 Februari 2025. Selama lima hari, peserta didik diajak untuk menelusuri kebhinekaan dari berbagai perspektif---diri sendiri, budaya, hingga dunia global---melalui refleksi, literasi, workshop kreatif, dan kunjungan diplomatik. Kegiatan ini tidak hanya memperkaya wawasan, tetapi juga membentuk karakter yang inklusif dan toleran, sesuai dengan prinsip-prinsip pendidikan multikultural yang digaungkan oleh James A. Banks (2009), seorang pionir dalam kajian pendidikan berbasis kebhinekaan.

Mengenali Kebhinekaan dalam Diri

Hari pertama diawali dengan refleksi mendalam mengenai identitas keberagaman dalam diri. Peserta didik diajak untuk mengenali akar budaya mereka sendiri dan memahami bagaimana keberagaman membentuk karakter individu. Sesi ini memperkenalkan konsep etika dalam keberagaman, menekankan bahwa perbedaan bukanlah hambatan, melainkan sumber daya sosial yang dapat memperkaya kehidupan bersama.

Setelah refleksi, sesi literasi kebhinekaan mengajak peserta memahami multikulturalisme dan peran budaya dalam kehidupan sosial. Sebagaimana konsep dari Bhikhu Parekh (2006) tentang pluralisme budaya menjadi lantas bisa jadi dasar dalam diskusi lanjut di moment berikutnya. Konsep itu  menunjukkan bahwa kebhinekaan bukan sekadar variasi budaya, tetapi juga mekanisme sosial yang memungkinkan koeksistensi damai dalam masyarakat majemuk.

Workshop Kreatif: Menyampaikan Kebhinekaan dalam Media

Hari kedua diisi dengan workshop pembuatan konten kebhinekaan, di mana peserta didik belajar mengekspresikan pesan toleransi melalui berbagai media kreatif. Mulai dari video pendek, infografis, hingga tulisan reflektif, mereka menuangkan gagasan tentang keberagaman dalam format yang mudah dipahami masyarakat luas. Kegiatan ini mengacu pada pendekatan Paulo Freire (1970) yang menekankan bahwa pendidikan harus bersifat dialogis dan memungkinkan siswa untuk menjadi subjek dalam pembelajaran, bukan sekadar objek pasif.

Kunjungan Diplomatik: Menjelajahi Perspektif Global

Pada hari ketiga, peserta didik melakukan kunjungan ke Kedutaan Besar Irak, @America, dan Institut Franais d'Indonsie (IFI). Melalui interaksi dengan diplomat dan pakar budaya, mereka memahami bahwa kebhinekaan bukan hanya milik Indonesia, tetapi juga merupakan identitas global. Kunjungan ini menegaskan gagasan Anthony Giddens (1999) tentang globalisasi yang menciptakan keterhubungan erat antarbudaya, sehingga memahami perspektif dunia menjadi keterampilan esensial bagi generasi masa depan.

Aksi Nyata: Unjuk Karya dalam Keberagaman

Sebagai puncak kegiatan, 12 kelompok peserta didik menampilkan pertunjukan yang memperlihatkan persinggungan budaya antara Indonesia dan berbagai negara. Berikut beberapa suguhan yang menarik perhatian:

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline