Potensi dan Peran Strategis Bambu di Indonesia
      Indonesia dikenal memiliki keanekaragaman bambu yang sangat melimpah dan menjadi salah satu pusat keragaman bambu dunia. Irawan et al. (2025) mencatat bahwa di Indonesia terdapat sekitar 175 spesies bambu yang termasuk ke dalam 25 genus, atau sekitar 12% dari seluruh spesies bambu yang ada di dunia. Sementara itu, penelitian Ritonga et al. (2024) menunjukkan bahwa di Pulau Sumatra saja ditemukan 73 spesies bambu dari 10 genus, dan di antaranya terdapat 30 spesies endemik atau sekitar 41,1% dari total spesies di wilayah tersebut. Fakta ini menegaskan posisi Indonesia sebagai salah satu negara dengan potensi sumber daya genetik bambu terbesar di kawasan Asia Tenggara.
      Dari aspek fisik dan mekanik, bambu Indonesia juga menunjukkan kualitas material yang beragam. Hasil studi Augustina et al. (2025) terhadap enam spesies bambu lokal memperlihatkan bahwa kepadatan serat (fiber density) berada pada kisaran 1,09–1,43 g/cm³. Nilai kekuatan tarik (tensile strength) bambu bervariasi antara 66,9 hingga 146,8 MPa, sedangkan modulus Young—indikator elastisitas bahan—berada dalam rentang 18,9-41,7 GPa. Perbedaan karakteristik tersebut menjadikan tiap spesies bambu memiliki fungsi dan nilai guna yang spesifik, mulai dari bahan bangunan, perabot, hingga bahan baku industri kreatif berbasis serat alam.
      Dari perspektif ekologi, bambu memiliki kontribusi penting terhadap mitigasi perubahan iklim. Laporan Universitas Gadjah Mada (2025) menyebutkan bahwa bambu mampu menyerap hingga 17 ton karbon per hektare per tahun, serta menghasilkan oksigen sekitar 35% lebih banyak dibandingkan pohon berukuran serupa. Kemampuan ini menjadikan bambu sebagai salah satu tanaman alternatif dalam upaya dekarbonisasi dan restorasi lingkungan, terutama di kawasan yang mengalami degradasi lahan.
      Secara sosial dan ekonomi, bambu juga memberikan kontribusi nyata bagi masyarakat pedesaan. Studi yang dilakukan oleh Muttaqin et al. (2023) di Desa Cibadak, Kota Bogor, menemukan bahwa luas lahan bambu di wilayah tersebut mencapai 6,72 hektare, atau sekitar 2,04% dari total luas desa. Aktivitas pengrajin bambu memberikan kontribusi sebesar 27,03% terhadap pendapatan rata-rata rumah tangga, meskipun sebagian besar masyarakat (sekitar 80%) masih menjadikan usaha ini sebagai sumber penghasilan tambahan, dan hanya sekitar 20% yang menggantungkan hidup sepenuhnya dari produksi bambu.
      Meskipun potensinya besar, pengelolaan bambu di Indonesia masih menghadapi berbagai kendala. Hambatan tersebut meliputi minimnya kebijakan nasional yang terpadu, kurangnya standarisasi mutu produk, lemahnya rantai pasok dan hilirisasi industri, serta keterbatasan fasilitas pengolahan dan investasi sektor bambu. Oleh karena itu, sinergi antara pemerintah, lembaga penelitian, sektor swasta, dan masyarakat lokal menjadi hal krusial untuk memastikan bahwa potensi ekologis dan ekonomi bambu dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan dan memberikan manfaat nyata bagi pembangunan nasional.
Ancaman terhadap Keberadaan Bambu di Indonesia
      Keberadaan bambu di Indonesia kini menghadapi sejumlah tantangan ekologis serta sosial-ekonomi yang kian kompleks. Salah satu masalah utama adalah alih fungsi lahan, yang mengakibatkan berkurangnya habitat bambu alami di berbagai daerah. Penelitian yang dilakukan di wilayah Jawa Tengah memperlihatkan bahwa banyak tegakan bambu telah digantikan oleh area pertanian dan permukiman, sehingga berdampak langsung pada penurunan populasi bambu maupun aktivitas ekonomi masyarakat yang menggantungkan hidup darinya (Fauziyah et al., 2023). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa kebijakan tata guna lahan di tingkat daerah masih belum mampu melindungi kawasan bambu secara optimal.
      Selain itu, keterbatasan kemampuan teknis masyarakat dan akses terhadap teknologi pengelolaan modern menjadi hambatan tersendiri bagi keberlanjutan bambu di tingkat lokal. Menurut Ekawati et al. (2022), minimnya pelatihan budidaya modern, rendahnya dukungan kelembagaan, serta belum meratanya alih teknologi menyebabkan produktivitas bambu rakyat belum mencapai potensi terbaiknya. Ketergantungan terhadap metode tradisional juga berdampak pada rendahnya nilai tambah dan daya saing produk bambu di pasar.
      Dari aspek biologis, ancaman juga datang dari serangan hama penggerek bambu (Dinoderus minutus) yang dapat merusak batang maupun hasil olahan bambu. Studi Mathew (2022) mengungkapkan bahwa hama tersebut menurunkan kualitas serat, kekuatan material, serta nilai jual produk bambu, khususnya di daerah dengan tingkat kelembapan tinggi.