Oleh Mahar Prastowo
Di panggung Kongres VI PDIP di Bali Nusa Dua Convention Center, Megawati Soekarnoputri berdiri mantap. Tubuhnya mungkin tak semuda dulu, tetapi sikapnya tetap seperti dulu: tegas, tenang, sekaligus penuh perhitungan.
Ketika daftar lengkap pengurus Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP 2025--2030 diumumkan, ada satu kejutan: Megawati tidak hanya tetap sebagai Ketua Umum, tapi juga merangkap Sekretaris Jenderal.
Bagi orang luar, ini bisa jadi dianggap langkah nekat. Tapi bagi Megawati, ini bukan sekadar soal siapa duduk di kursi sekjen. Ini soal bagaimana ia menjaga ritme partai, menjaga kohesi di tengah tekanan zaman dan gelombang perubahan generasi.
"Pasti Ibu (Megawati) punya pertimbangan yang lebih matang," kata Komarudin Watubun, Ketua Steering Committee Kongres VI PDIP. Kata-kata Komarudin terdengar diplomatis, tapi juga jujur: hanya Megawati yang tahu persis mengapa ia memilih tetap sendiri.
PDIP bukan partai baru belajar berkuasa. Sejak era reformasi, partai ini sudah dua dekade lebih menjadi pilar penting politik nasional. Namun, politik selalu punya satu hukum: yang paling sulit bukan merebut kekuasaan, melainkan mempertahankannya.
Nama-nama yang diumumkan Megawati di Kongres kali ini sebenarnya tak terlalu mengejutkan. Banyak wajah lama. Puan Maharani yang tetap memegang bidang politik. Ganjar Pranowo di pemerintahan dan otonomi daerah. Basuki Tjahaja Purnama, yang dulu dikenal sebagai "Ahok," di bidang perekonomian.
Ada juga nama-nama lain yang selama ini selalu muncul dalam struktur: Djarot Saiful Hidayat, Yasonna Laoly, hingga Tri Rismaharini.
Di kongres partai, yang lebih penting sering kali bukan hanya siapa yang duduk di mana, tetapi siapa yang tidak duduk di tempat tertentu. Atau siapa yang kursinya sengaja dikosongkan.
Dalam politik, kekosongan juga adalah sinyal. Megawati yang tetap rangkap jabatan Ketua Umum dan Sekjen adalah sinyal. Bisa dibaca sebagai ketegasan, bisa juga sebagai keraguan untuk memberi kepercayaan penuh kepada figur lain.
PDIP hari ini memang tengah menghadapi era transisi. Regenerasi bukan lagi soal wacana, tapi kebutuhan mendesak. Namun, transisi bukan hanya soal umur, tapi soal pemikiran, pengalaman, dan kesetiaan.
Sebagai partai besar, PDIP juga sedang berdiri di simpang jalan: tetap menjadi partai ideologi yang mengandalkan karisma sang ketua umum, atau berubah menjadi partai modern yang lebih terbuka pada dinamika internal.