Hari ketiga puluh satu bulan kedelapan malam ini, parah bahkan benar-benar parah. Perkataan yang toxic. Jika benar-benar harus berakhir, lebih baik berakhir. Yang ada bualan, omong kosong.
Adakah bahasa cinta yang tersisa? Sudah tidak ada dari puluhan tahun barangkali, kenapa harus memaksakan? Kemudian yang lain jadi korban. Di mana tanggung jawab yang harus ada? Fisik sudah mengalami disabilitas karena tidak ada tanggung jawab. Apakah nurani harus juga mengalami disabilitas?
Nyeri ulu hati juga tak ada bahagia yang tercipta. Kejadian yang sama terus berulang terus berulang sampai puluhan tahun. Tidak ada kabar baik yang ditunggu. Karena kalau tidak dalam hari, dalam minggu, dalam bulan pasti saja ada ketoksikan yang terjadi. Terbukti, malam ini kejadian yang sama terulang. Jejak keburukan ada dalam rekam jejak malam ini.
Ada luka yang tertinggal. Lantas, sudahkah menjadi puas ketika akan sendiri. Ketika akan tinggal meninggal, seperti judul film yang ada. Adakah bahasa cinta yang tersisa? Jika benar-benar kematian akan terjadi. Ini merupakan kemarau panjang yang sepertinya tidak memiliki ujung. Inikah yang akan terus terlihat dan terasa? Benar-benar melelahkan, hanya mementingkan ego. Penuh dusta.
Malam ini kembali berduka dan tidak ada yang berbelasungkawa. Duka sendirian dan tak ada bahasa cinta yang tersisa. Entah Seperti apa menghabiskan sisa malam ini, tapi lebih takut jika masih dipercayakan hari esok dan memulai pagi hari, pagi hari yang benar-benar pagi atau pagi hari yang akan menjadi seperti malam kelam? Entahlah.
***
Rantauprapat, 31 Agustus 2025
Lusy Mariana Pasaribu
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI